Bagi mereka, pengetahuan ini lucu, aneh, unik, tapi sekaligus mengedukasi mereka. Yaitu, mengedukasi tentang nilai-nilai kehidupan yang tersampaikan secara ringan dan menyenangkan lewat tarian.
Pengetahuan ini, saya kira, memberi pengertian baru bagi mereka (baca: siswa) yang bukan mustahil akhirnya mencegah pertengkaran, termasuk tawuran, yang mudah saja terjadi di kalangan remaja --seusia mereka atau bahkan mengikis kebiasaan mereka yang melakukannya.
Guru membantu
Dalam proses yang sekurang-kurangnya membutuhkan waktu satu bulan tersebut masih dalam kontrol guru. Termasuk, misalnya, saat menjelang tampil ada semacam gladi kotor, guru mapel Seni Tari dan guru Bahasa Jawa ikut memberi saran.
Terutama, ini yang diceritakan kepada saya oleh teman guru mapel Seni Tari tersebut, gerakan mereka masih dapat diperbaiki. Akhirnya, ia memberi contoh gerakan tari untuk karakter Hanoman dan kelompoknya. Hasilnya, dapat menyuguhkan pertunjukan yang memikat sekali pun mereka --seperti sudah disebutkan di atas-- tak memiliki keterampilan dasar tari.
Perihal kebutuhan kostum, ternyata juga, masih dalam koneksi dengan guru mapel Seni Tari. Termasuk, misalnya, tempat mereka harus menyewa kostum tari. Guru mapel Seni Tari, teman seperjuangan di sekolah tempat saya mengajar, memberi rekomendasi tentang tempat penyewaan kostum tari.
Perihal ini terlihat sederhana. Tapi, dalam maksud memberi edukasi siswa, upaya yang sederhana ini sangat membangun persepsi positif terhadap siswa. Sehingga, kepercayaan diri mereka akan bertambah. Bagian ini justru, yang pada masa kini, harus terus ditanamkan dalam diri siswa oleh setiap guru.