Mereka memiliki kebebasan mengenakan kain batik ecoprint tersebut. Sebab, batik ecoprint termaksud masih berupa lembaran kain alias belum dijahitkan.
Sekalipun begitu, siswa yang mewakili kelasnya menjadi model fesyen batik ecoprint terlihat menikmatinya. Berlenggak-lenggok dengan merentangkan kain batik. Atau, membebatkan kain batik tersebut di tubuhnya dan mengombinasikannya dengan pakaian yang sudah dikenakan.
Pertunjukan fesyen berlangsung di lapangan, yang areanya sangat luas. Para model dapat dengan leluasa memperlihatkan kain batik ecoprint yang dikenakannya kepada siswa lain yang menjadi penonton.
Pertunjukan fesyen tersebut menjadi momen pameran hasil kerja siswa. Sekaligus wujud apresiasi dan bersama merayakan keberhasilan.
Tambahan, guru-guru, khususnya yang ibu-ibu, juga turut pertunjukan fesyen. Mereka melakukannya di lapangan, sama persis seperti siswa, berlagak model beneran. Bersama siswa mengekspresikan keberhasilan.
Di dalam semua itu, sekecil apa pun, kami, atau sekolah tepatnya, sudah ikut mengampanyekan sikap menghargai --dalam arti menjaga, merawat, dan memanfaatkan-- alam bagi siswa, sebagai generasi penerus kehidupan, melalui proyek pembuatan batik ecoprint.
Dan, siswa kami (sangat mungkin) akhirnya memahami bahwa alam dan lingkungannya, ternyata menyediakan banyak materi. Bahkan, hanya melalui daun pun, tak hanya dapat melahirkan makanan dan minuman, tapi juga fesyen, ecoprint, yang digandrungi oleh siapa pun dari kalangan bawah hingga atas. Menghidupkan ecoprint (sekalipun di kalangan siswa), menghidupkan lingkungan sustainable!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H