Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengajar Setelah Liburan, Guru Menyiapkan Apa?

30 Desember 2023   07:37 Diperbarui: 30 Desember 2023   12:10 2252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Salah satu guru SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah, saat membagi rapor kepada orangtua siswa pada 16/12/2023. (Dokumentasi pribadi)

Ketika siswa menikmati liburan setelah menerima rapor semester gasal, guru tak libur. Guru tetap masuk ke sekolah, kecuali mereka yang mengambil cuti.

Kini guru memang boleh mengambil cuti. Umumnya, guru, termasuk saya, mengambil cuti saat siswa libur --kecuali dalam kondisi yang (sangat) mendesak. Sebab, dengan begitu, guru tak meninggalkan beban bagi guru yang lain.

Berbeda ketika guru mengambil cuti saat hari masuk sekolah. Guru yang lain tentu menggantikannya. Mereka mengajar siswa yang ditinggalkan oleh guru kelas atau guru mata pelajaran (mapel) yang mengambil cuti.

Jika demikian yang terjadi, guru yang lain bertambah sibuk. Selain harus mengajar di kelas sesuai dengan beban tugasnya, ia juga harus mengajar di kelas yang tak menjadi beban tugasnya.

Sekalipun begitu, pembelajaran tetap berlangsung baik. Kerja sama antarguru mengurangi keburukan dalam proses pembelajaran. Ketika kelas sedang tak ada gurunya karena sedang cuti, guru piket sudah menggantikannya.

Kenyataan seperti itu yang (sejatinya) sangat menolong proses pembelajaran tetap berlangsung. Siswa tak di dalam kategori dirugikan. Karena mereka tetap berproses dalam pembelajaran dengan pendampingan guru.

Pada titik ini (semua) guru ditantang untuk dapat memasuki kelas mana pun. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, tak ragu memasuki Kelas 9 sekalipun guru mengajar di Kelas 7 atau Kelas 8. Pun sebaliknya, tak menyepelekan memasuki Kelas 7 karena guru berpengalaman mengajar di Kelas 8 dan 9.

Tantangan serupa itu yang harus disadari oleh guru pada saat siswa masuk sekolah setelah liburan seperti saat ini. Mereka libur dua pekan. Dan, belum tentu dalam masa libur dua pekan itu mereka belajar.

Mungkin ada sebagian (kecil) siswa yang waktu libur tetap belajar. Dalam maksud tak harus memegang buku. Tapi, beraktivitas yang produktif.

Misalnya, mencuci, menyeterika, membantu ibu memasak, dan membantu pekerjaan yang lain dari sekian banyak pekerjaan orangtua.

Dengan melakukan aktivitas yang produktif seperti itu, pikiran dan benak siswa (baca: anak) tetap terbimbing. Anak justru menjadi pribadi yang tak hanya cerdas, tapi juga terampil dan berprinsip.

Hanya sayang, sebagian (besar) siswa dimungkinkan  tak belajar. Mereka hanya sibuk dengan gawai. Bermedia sosial dan/atau nge-game untuk memenuhi kesukaannya. Hal yang sebetulnya tak salah kalau mereka dapat berbagi waktu.

Tapi, siapa yang dapat menjamin bahwa mereka dapat berbagi waktu?  Sebagian waktu untuk belajar; sebagian waktu untuk memegang gawai bermedia sosial dan/atau nge-game? Sepertinya, tak ada pihak yang dapat menjamin.

Saya menyatakan seperti itu karena setiap hari ketika masuk sekolah, saya selalu menjumpai siswa. Dan, kebiasaan siswa terkait dengan gawai sudah sangat terlihat.

Sampai-sampai sekolah harus menyiapkan loker gawai untuk menyimpannya saat tak digunakan siswa dalam pembelajaran.

Kondisi itu mengisyaratkan bahwa sebelum ada loker, siswa di sekolah tak dapat berbagi waktu. Kapan mereka boleh memegang gawai dan kapan tak boleh memegang gawai.

Ternyata, memegang gawai menempati waktu terbanyak meski mereka sedang berada di sekolah. Saat istirahat, saat berada di kantin, saat izin ke belakang, bahkan saat proses pembelajaran dapat saja secara sembunyi-sembunyi mereka memegang gawai. Ini deskripsi saat belum disediakan loker.

Jadi, hampir-hampir pikiran dan benaknya tak dapat lepas dari gawai. Secara fisik lepas dari gawai, oke! Tapi, secara nonfisik, ia tak dapat lepas dari gawai, dalam arti pikiran dan benaknya terus tergadai oleh gawai.

Nah, saat liburan dua pekan ini, bukan mustahil --karena pikiran dan benaknya tergadai oleh gawai-- mereka bisa-bisa lupa memiliki peran sebagai siswa. Apalagi kalau lingkungan keluarga tak mengontrol. Mereka pasti benar-benar kehilangan peran itu.

Dan, kini, tiba-tiba waktu liburan sudah menjelang habis. Mereka harus bersiap-siap (kembali) masuk sekolah. Dalam kondisi mereka kehilangan peran sebagai siswa, guru harus  bersiap diri mengantar mereka masuk kembali ke alam pembelajaran.

Perihal guru menyiapkan perangkat pembelajaran, tak perlu ditanya lagi. Itu sudah pasti. Sebab, syarat administrasi ini sangat dibutuhkan.

Tak hanya untuk kepentingan mengarahkan guru saat mengajar siswa, agar lebih fokus.  Tapi, juga untuk salah satu elemen bukti fisik kepentingan jabatan dalam karier guru.

Sifat persiapan yang administratif ini tak seberapa mendesak untuk dilengkapi. Artinya, sembari mengajar, atau di sela-sela mengajar, guru dapat melengkapinya.

Dan, justru yang demikian ini, yang sebetulnya menyentuh kebutuhan siswa. Karena konteksnya langsung  dimengerti guru, sehingga perangkat yang disediakan dapat dibuat relevan dengan kebutuhan dan situasi kondisi lingkungan pembelajaran siswa.

Jadi, melengkapi  administrasi pembelajaran dapat dilakukan secara mengalir bersamaan dengan (ketika) guru sedang mengajar. Bahkan, jika dimungkinkan ada yang perlu diubah, di situlah (langsung) dilakukan perubahan. Sehingga, efektivitas  perangkat pembelajaran tersebut  benar-benar dirasakan, baik oleh guru maupun (lebih-lebih) oleh siswa.

Ada satu persiapan (lagi) yang jauh-jauh hari, sebelum masuk sekolah, (sebetulnya) harus dimiliki oleh guru, yaitu  membangun rasa; membangun emosi. Persiapan yang berbeda dengan persiapan administratif, ini kepentingannya tak dapat dibentuk sambil lalu, atau saat pembelajaran berlangsung.

Persiapan ini membutuhkan waktu yang lebih khusus dan relatif panjang. Karena, misalnya (ini yang sederhana), guru perlu mengidentifikasi siswanya. Di kelas, lebih-lebih sejak berlaku jalur Zonasi, selalu ada klasifikasi siswa dari sisi spirit.

Ada siswa yang spirit belajarnya tinggi. Ada siswa yang spirit belajarnya medium. Dan, ada siswa yang spirit belajarnya rendah.

Siswa yang spirit belajarnya medium, apalagi yang rendah, saat masuk  sekolah sehabis masa libur membutuhkan perhatian khusus dari guru. Karena bukan mustahil saat proses pembelajaran berlangsung, mereka ogah ambil peran di dalamnya.

Mereka mungkin tiduran, asyik sendiri, usil terhadap temannya, sering tengok-tengok keluar kelas, atau apalah perilakunya yang pasti tak konsentrasi belajar.

Dalam situasi seperti itu, guru yang memiliki tingkat kepekaan rasa dan emosi yang tinggi tak tinggal diam. Ia pasti mencari cara agar dalam diri  siswa yang dibersamai tersebut timbul spirit untuk terlibat belajar.

Guru yang sudah memiliki  jam terbang lama dalam membangun rasa dan emosi dengan beragam pengalaman, tak akan kehabisan daya kreatif dan inovatif demi siswa yang harus direngkuhnya.

Kreativitas dan inovasi guru diyakini oleh banyak pihak dapat membangun fokus siswa dalam proses pembelajaran. Termasuk terhadap siswa yang spirit belajarnya medium dan rendah.

Dengan bahasa lainnya, siswa yang senakal, seusil, seramai, dan secuek apa pun jika dimunculkan kreativitas dan inovasi guru dalam proses pembelajaran, spirit belajar mereka akan terlecut.

Hanya, sangat mungkin masih ada siswa yang spirit belajarnya tak tahan lama. Awalnya antusias terlibat belajar, tapi lambat laun antusiasmenya melemah.

Ini tentu (saja) terkait dengan siswa yang spirit belajarnya medium dan (terutama) yang rendah. Karena untuk mengubah mereka tak semudah membalik telapak tangan. Perlu proses dan waktu.

Mengetahui masih ada siswa yang seperti itu, guru (selanjutnya) perlu memiliki hati yang sabar, tabah, dan tekun. Ini hanya dimiliki oleh guru-guru yang sudah sedemikian rupa membangun kepekaan rasa dan emosi dalam waktu yang relatif lama.

Kesabaran, ketabahan, dan ketekunan guru dalam memelihara spirit belajar siswa, menurut saya, justru merupakan persiapan yang paling penting di antara persiapan-persiapan  yang lain setelah siswa menikmati liburan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun