Sebetulnya analisis ibu tersebut benar. Toh memang anak yang menjadi pengurus OSIS melalui penyeleksian. Dan, proses seleksi merupakan tahap memilih dari beberapa anak yang ada.
Ada proses membandingkan anak satu dengan yang lain. Mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan di antara mereka. Dan, akhirnya, dipilihlah anak-anak yang tergolong baik, yang saya meyakini sebagian orang menyebutnya sebagai anak yang cerdas.
Hanya, dalam konteks ini, yang namanya cerdas tak harus terhubung dengan nilai akademik anak. Apalagi Gardner, tokoh pendidikan dan psikologi yang terkenal di seantero jagat, sudah mengklasifikasikan kecerdasan ada delapan.
Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan bahasa, kecerdasan logika matematika, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, dan kecerdasan naturalis.
Jadi, ketika ibu yang anaknya menjadi pengurus OSIS tersebut mengatakan bahwa anaknya tak cerdas, tentu menurutnya yang dimaksud cerdas adalah cerdas logika matematika. Ini maksud yang sangat terbatas.
Saya pun meyakini bahwa pemikiran seperti yang dimiliki oleh ibu tersebut dimiliki juga oleh orangtua-orangtua yang lain, baik yang berada di kota maupun desa. Orangtua yang anaknya, baik sekolah di swasta maupun negeri.
[Jangan-jangan ada juga guru dan tenaga kependidikan yang memiliki pemikiran serupa itu. Ah, semoga saja tak ada! Guru dan tenaga kependidikan mengerti bahwa siswa cerdas itu tak sebatas terkait dengan matematika dan sains].
Padahal, ibu tersebut dalam waktu yang bersamaan juga mengatakan bahwa anaknya itu memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kelebihan ini yang tampaknya kurang dimengerti oleh ibu itu, bahwa kepekaan sosial yang tinggi sebetulnya juga merupakan kecerdasan.
Dalam kepengurusan OSIS dibutuhkan (juga) anak-anak yang memiliki kepekaan sosial. Sebab, OSIS tak hanya bergerak di bidang akademik. Tapi, bergerak juga di bidang nonakademik. Termasuk aktivitas sosial kemanusiaan.
Aktivitas sosial kemanusiaan setiap tahun dilakukan oleh OSIS. Bahkan, sejak anak baru masuk di Kelas 7 saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), sudah dikenalkan yang namanya kegiatan sosial kemanusiaan.
Misalnya, mereka diminta mengumpulkan buku dan mi instan, yang disumbangkan ke panti asuhan. Tak hanya pada momen MPLS. Pada momen tertentu, semisal, ada bencana, mereka juga diajak untuk berbagi kasih.