Sehingga, siswa menghayati betul seluk-beluk pemilu, dari proses awal hingga akhir. Itu di antaranya yang menjadi alasan sekolah tak meminjam kotak dan bilik suara dari KPU setempat.
Dalam proses semua itu menunjukkan bahwa pemilihan pengurus OSIS --sekali lagi, khususnya jabatan ketua OSIS-- di sekolah kami melalui tahap-tahap seperti dalam pemilu.
Selain itu, dalam pemilihan selalu --sejak dulu hingga kini-- memunculkan enam calon ketua OSIS. Jumlah suara terbanyak menjadi ketua OSIS. Jumlah suara berikutnya menjadi wakil ketua OSIS.
Dan, untuk posisi sekretaris dan bendahara OSIS dipilih berdasarkan peminatan dan bakat dari empat yang masih belum mendapat jabatan. Enam pengurus OSIS yang sudah terpilih itulah yang disebut pengurus inti OSIS.
Sedangkan pemilihan untuk pengurus OSIS jabatan lainnya juga dilakukan seleksi, yang melibatkan pengurus inti OSIS lama, guru (kesiswaan dan pembina OSIS), dan pengurus inti OSIS baru.
Proses pemilihan yang seperti itu dimaksudkan untuk mendapatkan pengurus OSIS yang berkualitas. Nah, pada titik ini kadang orangtua kurang tepat dalam memahaminya.
Saya menjumpai hal itu ketika ada orangtua salah satu pengurus OSIS yang menceritakan tentang anaknya yang terpilih menjadi pengurus OSIS. Begini ceritanya.
Orangtua tersebut (ia seorang ibu) mempercakapkan dengan suaminya mengenai anaknya yang menjadi pengurus OSIS. Karena si ibu tak percaya anaknya dapat menjadi pengurus OSIS.
Sebab, di mata ibu, si anak tak termasuk anak yang cerdas. Sehingga, tak masuk akal kalau kemudian diketahui bahwa anaknya terpilih menjadi pengurus OSIS. Bukankah pengurus OSIS terdiri atas anak-anak yang cerdas?
Pertanyaan itu muncul karena ternyata ia membandingkan pengurus OSIS pada zaman mereka (ibu dan suaminya) sekolah dengan saat ini, saat anaknya menjadi pengurus OSIS. Dulu, katanya, siswa yang menjadi pengurus OSIS anak-anak yang pintar.