Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siswa Satu sekolah di Tempat Orang Tua Bekerja, Apa Konsekuensinya?

8 Desember 2023   09:56 Diperbarui: 8 Desember 2023   15:38 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak bersekolah di tempat orangtuanya mengajar | KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Dulu, anak saya yang pertama menjadi siswa di sekolah tempat saya mengajar. Ketika Kelas 7 dan 8, saya tak mengajarnya. Tapi, ketika Kelas 9, saya mengajarnya.

Saat pembagian tugas mengajar sebetulnya saya dapat mengajukan perubahan kepada kepala sekolah. Saya pindah mengajar di kelas lain agar tak mengajar anak sendiri.

Tapi, saya tak melakukannya. Saya menerima pembagian tugas mengajar tersebut. Meski  beberapa teman guru, baik pada tahun-tahun sebelumnya maupun tahun yang sedang berjalan, meminta agar tak mengajar anaknya.

Ada benarnya juga ternyata. Sebab, saat saya mengajar di kelas yang anak saya berada di dalamnya, saya dianggap tak adil memperlakukan dia tentang nilai.

Karenanya, ketika adiknya mau mengikuti jejaknya, ia berpesan tak usah mendaftar sekolah di sekolahnya dulu, maksudnya di sekolah tempat saya mengajar.

Mendaftar di sekolah lain saja. Sebab, dikatakannya, jika saya (ayah) mengajar, adiknya tak mungkin mendapat nilai bagus.

Plak! Saat si sulung mengatakan hal itu kepada adiknya, seolah saya kena tamparan keras. Betulkah saya berbuat seperti yang dianggapkan si sulung?

Mungkin betul juga. Sebab, setelah saya renung-renungkan, saat itu memang saya merasa tak nyaman ketika memberi nilai kepada si sulung lebih dari siswa yang lain sekalipun sejatinya ia mendapat nilai bagus.

Tapi, selama itu, ia tak pernah protes, baik saat di rumah maupun di sekolah. Selama itu si sulung mampu menyimpan dalam hati bertahun-tahun. Dan, selama itu berarti saya jahat terhadapnya.

Tapi, sesuatu yang istimewa terjadi. Sebab, ia dapat membuktikan bahwa kejahatan saya terbukti. Yaitu, ketika ia mendapat nilai ujian nasional tertinggi di sekolah dalam mata pelajaran yang saya ajarkan.

Sebetulnya, anak bersekolah di sekolah tempat orang tua bekerja sudah banyak. Dari dulu hingga kini masih berlangsung. Bahkan, untuk jenjang pendidikan menengah di daerah tertentu, anak guru ada perlakuan khusus.

Perlakuan khusus yang dimaksud adalah anak tersebut memiliki peluang lebih mudah diterima daripada anak yang lain. Atau, bahkan langsung diterima.

Tentang yang beginian tak perlu dimasalahkan. Sebab, orang tua bekerja di sekolah A, misalnya, masakan anaknya tak boleh mengenyam pendidikan di sekolah A.

Dengan adanya anak diterima di sekolah tempat orang tua bekerja tentu (dipahami) lebih menyejahterakan. Apalagi kalau anak dan orang tua memang menginginkan diterima di sekolah tersebut. Betapa bahagia anak dan orang tua, beserta seluruh anggota keluarga.

Tapi, ada juga anak atas izin orang tua lebih memilih sekolah lain, bukan di sekolah tempat orang tua bekerja. Mereka merasa sejahtera.

Sebab, sekolah lain yang   menjadi pilihan mereka. Dan, konsekuensinya tentu sudah dipertimbangkan secara mendalam. Yang tak menyejahterakan adalah ketika anak dan orang tua menginginkan diterima di sekolah tempat orang tua bekerja, tapi tak diterima. Ini sangat menyiksa batin dan pikiran anak dan orang tua.  Bisa-bisanya anak tak diterima di sekolah tempat orang tua bekerja. Namun, hal ini sungguh terjadi.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Anak saya yang kedua tak diterima di sekolah tempat saya mengajar. Penyebabnya, secara zonasi, jarak antara lokasi rumah kami dan lokasi sekolah tak masuk dalam jarak radius zonasi.

Ilustrasi guru berkolaborasi dengan orang tua demi siswa, diambil dari naikpangkat.com
Ilustrasi guru berkolaborasi dengan orang tua demi siswa, diambil dari naikpangkat.com
Secara prestasi, waktu itu, anak yang ada dalam zonasi tak boleh memilih sekolah dalam satu zonasi. Tapi, harus memilih sekolah di luar zonasi. Kebijakan ini akhirnya berubah pada tahun berikutnya.

Makannya, ketika setahun kemudian, secara prestasi, anak dapat memilih sekolah dalam satu zona diperbolehkan, si bungsu protes.

Sikap protes tersebut merupakan ekspresi yang menandakan bahwa ia tak sejahtera sekolah (baca: belajar) di sekolah yang bukan pilihan pertama.

Sekolah pilihan pertama anak dapat saja di sekolah tempat orang tuanya bekerja. Tapi, dapat saja sekolah pilihan pertama adalah sekolah yang tak ada sangkut pautnya dengan tempat orang tua bekerja.

Diakui atau tidak, sebenarnya, ketika anak bersekolah di sekolah tempat orang tua bekerja memiliki konsekuensi yang dipastikan mengena terhadap banyak pihak.

Konsekuensi tersebut terjadi karena  tak dapat dimungkiri masih adanya pandangan --hingga kini-- mengenai kompetensi anak di sekolah.

Pandangan itu adalah adanya anak yang masuk dalam kelompok di bawah rata-rata, anak dalam kelompok rata-rata, dan anak dalam kelompok di atas rata-rata.

Anak yang masuk dalam kelompok rata-rata dan di atas rata-rata cenderung tak menimbulkan masalah yang berarti bagi guru (yang mengajar). Pun bagi orang tua mereka.

Guru yang mengajar mereka tak memiliki beban berat sekalipun orang tua mereka rekan bekerja di dalam satu sekolah. Baik orang tua mereka itu sebagai  guru maupun karyawan.

Sebab, mereka yang masuk dalam kelompok rata-rata dan, apalagi, dalam kelompok di atas rata-rata pasti memiliki kompetensi yang baik.

Kompetensi (siswa) yang baik akan memberi rasa nyaman bagi guru yang mengajar. Dengan demikian guru yang mengajar tak merasa sungkan terhadap orang tua mereka.

Selain itu, orang tua mereka juga merasa bangga sebab mereka memiliki kemampuan yang  dapat dibanggakan oleh guru dan karyawan di sekolah, yang notabene rekan sekerja orang tuanya.

Tambahan, orang tua pun memiliki bahan pembicaraan yang menyenangkan jika (kebetulan) ditanya oleh orang lain.

Apalagi orang tua yang anaknya masuk dalam kelompok di atas rata-rata. Ia pasti merasa sangat bangga. Sebab, sangat mungkin anaknya mendapat pujian dari banyak pihak. Baik, dari guru, kepala sekolah, maupun karyawan.

Pujian tersebut umumnya tak hanya berhenti bagi anaknya. Tapi, melebar juga kepada orang tua. Itu sebabnya, ucapan selamat tak hanya kepada anak, tapi juga orang tua.

Konsekuensi dari dua kelompok di atas berbeda dengan konsekuensi dari anak dalam kelompok di bawah rata-rata. Konsekuensi ini dapat mengena (juga) kepada banyak pihak dan lebih ke arah yang kurang baik.

Dalam masa penilaian, misalnya,  guru yang mengajar anak yang dimaksud  tak mudah dalam memutuskan nilai.  Sebab, betapa pun, keputusan itu akan berdampak terhadap orang tua anak.  

Apalagi kalau orang tua anak itu sama-sama guru, yang setiap hari bertemu dan bersenda gurau dalam satu ruang. Ini akan menjadi beban sangat berat bagi guru yang mengajar anaknya.

Sekalipun secara profesional, guru harus objektif. Tapi, hati tak dapat dibohongi. Bayang-bayang rekan  yang memiliki anak yang  harus dinilainya tak mudah hilang dari pikirannya.

Sebenarnya tak menimbulkan apa pun kalau orang tua anak, yang juga teman seperjuangan, dapat menerima kenyataan yang ada pada diri anaknya. Jika tak mau menerima kenyataan, ini yang menjadi problem.

Tak hanya menyulitkan bagi guru  yang mengajar anaknya. Tapi, juga bagi kepala sekolah. Karena bukan mustahil, guru yang mengajar anaknya akhirnya meminta pertimbangan kepada kepala sekolah saat mengambil keputusan akhir.

Problem akan semakin berat kalau orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di sekolah tempat ia bekerja sejak awal sudah memiliki tujuan agar guru yang mengajar anaknya mau "membantu".

Pada poin ini pasti terjadi pro dan kontra di antara guru yang mengajar anak yang termaksud, bahkan melebar ke guru yang lain. Ada yang mau "membantu" karena kasihan. Tapi, ada yang menolak karena khawatir diprotes oleh siswa lain dalam satu kelas anak  tersebut.

Sebab, anak-anak, terutama yang ada dalam satu kelas itu, satu terhadap yang lain sudah pasti saling menilai (dalam hati)  karena setiap hari mereka beraktivitas bersama.

Akhirnya mereka saling mengetahui kompetensi satu terhadap yang lain. Misalnya, mana anak yang termasuk kelompok di atas rata-rata, mana anak   kelompok rata-rata, dan mana anak kelompok di bawah rata-rata.

Bahkan, anak-anak yang termasuk dalam kelompok di bawah rata-rata pun boleh jadi  sudah mengetahui posisi mereka masing-masing, setidaknya, dalam kelompoknya.

Ini yang dikhawatirkan oleh guru. Sebab, bukan mustahil anak akan membandingkan nilainya dengan anak yang lain. Ketika ia mendapatkan kenyataan yang jauh dari fakta keseharian, ia sedih, menyesal, dan memberontak dalam hati.

Dalam kasus seperti di atas, guru yang mengajar dan kepala sekolah perlu arif dalam mengambil keputusan, terlebih dalam penilaian. Agar, suasana kerja tetap nyaman dan menyejahterakan bagi semua guru dan karyawan.

Atau, orang tua, baik sebagai guru maupun karyawan, harus bersikap lebih bijak dalam menyekolahkan anaknya di sekolah tempat ia bekerja. Mempertimbangkan terlebih dulu konsekuensi yang diduga muncul, konstruktif atau destruktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun