Maka, beberapa siswa, sekalipun belum tentu dengan alasan tas jebol atau tali tas putus, meninggalkan beberapa buku --terutama buku teks pelajaran-- di sekolah. Dan, laci meja sering menjadi pilihan mereka untuk menaruh buku-buku itu.
Kadang kala buku-buku itu bercampur dengan sampah yang tersorong ke dalam laci meja. Beberapa kali saya  melihatnya ketika saya meminta siswa mengecek laci mejanya. Di sana sampah dan buku hampir tak beda.
Padahal, adanya laci meja, sudah pasti --ketika awal mula dibuat-- digagas secara kreatif. Selain untuk manfaat utama, dapat dibuat juga untuk manfaat lainnya.
Meja siswa dan guru tak sebatas hanya dimanfaatkan permukaan bagian atasnya. Tapi, dibuatkan juga laci supaya ada bagian yang dapat dimanfaatkan untuk menyimpan peralatan sekolah.
Buku, penggaris, pensil, pulpen, dan alat-alat sejenisnya dapat disimpan di dalam laci meja saat tak digunakan, yang nanti diambil (kembali) saat pulang.
Dengan begitu, permukaan atas meja cukup leluasa untuk aktivitas belajar. Misalnya, menulis, membaca, menggambar, mengerjakan kerajinan tangan, atau aktivitas lain yang sejenis.
Kalau kemudian, kini, laci meja siswa kurang  dimanfaatkan sesuai keperluannya, berarti ia, laci meja siswa itu, memiliki riwayat perjalanan yang unik, mungkin seunik perjalanan hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H