Dalam mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia Kelas IX ada materi cerita pendek (cerpen). Materi ini dipelajari siswa pada semester gasal.
Jadi, pada saat tulisan ini dibuat, masih hangat dalam pikiran dan benak siswa yang bersangkutan, juga saya, karena barusan mempelajarinya. Saya mengajarkannya di dua Kelas IX.
Bagian yang paling menarik untuk didalami oleh guru dan siswa, menurut saya, adalah tentang penokohan. Tak berarti bagian yang lain tak penting. Penting juga.
Tapi, bagian yang perlu lebih ditekankan adalah bagian penokohan karena di dalamnya, guru dan siswa dapat belajar dan mendalami perihal karakter tokoh.
Dan, karakter --kita sama-sama tahu-- merupakan bagian penting dalam realitas hidup kita. Yang, memang hingga sekarang masih harus diperjuangkan secara gigih.
Sebab, disadari atau tidak, telah terjadi degradasi karakter, baik dalam kehidupan anak-anak maupun orang dewasa. Terhadap anak-anak, yang notabene sebagai pelajar, pembentukan karakter dapat melalui materi cerpen.
Tentu tak hanya melalui cerpen. Melalui materi cerita fantasi, yang sekarang ini dipelajari oleh Kelas VII pun dapat. Demikian juga melalui materi fabel --kalau tak salah--- yang dipelajari oleh Kelas VIII dapat menjadi akses membentuk karakter siswa.
Tokoh-tokoh dalam cerita, baik dalam cerpen, cerita fantasi, maupun fabel, memiliki karakter. Seperti yang dimiliki oleh orang, termasuk guru dan siswa.
Maka, ketika menyelisik karakter tokoh dalam cerita sejatinya menyelisik karakter sosok yang menyelisik. Dalam konteks pembelajaran Mapel Bahasa Indonesia --tentu juga dalam pembelajaran mapel bahasa yang lain--, berarti menyelisik karakter guru dan siswa.
Karenanya, tepat sudah guru, khususnya guru rumpun bahasa, turut membentuk karakter siswa melalui materi cerita. Ketepatan yang dimaksud diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pembentukan karakter siswa (akan) berlangsung lebih persuasif. Tak menyinggung perasaan siswa. Sebab, siswa diajak bercermin dari tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita.
Caranya, siswa diarahkan oleh guru untuk membandingkan dirinya dengan tokoh yang setidak-tidaknya mendekati kebiasaannya. Jadi, guru tak menyimpulkan bahwa siswa memiliki karakter seperti tokoh dalam cerita.
Tapi, siswa sendiri yang (kemudian) menyimpulkan bahwa karakter dirinya sama dengan karakter tokoh dalam cerita. Kalau tak ada yang sama persis, setidaknya yang mendekatinya.
Dalam proses tersebut justru membuat pembelajaran berlangsung sangat menyenangkan dan unik. Saya menemukan hal tersebut karena saya sudah mencobanya di ruang kelas yang saya ampuh.
Siswa malah senyum-senyum sendiri karena mungkin ia menemukan tokoh dalam cerita seperti dirinya. Atau, sekurang-kurangnya ada konflik dalam cerita seperti konflik yang dialaminya. Jadi, siswa akhirnya mengandaikan dirinya seperti tokoh.
Uniknya adalah mungkin saja penyelesaian konflik tokoh dalam cerita tak sama dengan penyelesaian konflik realitas siswa. Jika berbeda dan (ternyata) positif, siswa dapat menjadikan penyelesaian konflik tokoh sebagai alternatif yang dapat digunakan kelak ketika menemukan problem serupa.
Tapi, jika (ternyata) negatif, siswa dapat mensyukuri penyelesaian konflik yang sudah ditempuh atas masalah yang dihadapinya. Siswa merasa memiliki kelebihan dalam cara menyelesaikan konflik daripada tokoh di dalam cerita.
Dan, jika tokoh di dalam cerita dalam menyudahi konfliknya sama dengan cara yang digunakan siswa dalam merampungkan problemnya, maka siswa merasa mendapat kekuatan yang dahsyat. Siswa merasakan bahwa ternyata ada (pihak lain) yang sama dengan dirinya saat menghadapi konflik.
Anda (sebagai guru) yang pernah mencoba perihal ini pasti merasakan bahwa Anda berhasil dalam mengajar. Karena, Anda mengetahui dan ikut merasakan kebahagiaan siswa yang ketika itu mendapatkan pengertian-pengertian bahkan motivasi yang di dapat dari cerita.
Siswa yang demikian pasti sangat termotivasi dan bukan mustahil karakter positif yang sudah dimilikinya akan lebih mudah tumbuh dan berkembang.
Nah, jika sebaliknya yang terjadi tokoh di dalam cerita lebih baik dalam menyudahi konfliknya daripada cara yang dilakukan oleh siswa dalam realitas, bagaimana? Tak masalah. Sebab, siswa tak akan tersinggung. Ia pasti menerima kenyataan itu, toh hanya tokoh cerita yang menjadi pembandingnya.
Dan, bukan mustahil siswa yang bersangkutan akhirnya menyadari bahwa ia harus berubah. Dalam proses pembelajaran, ia pasti senyum-senyum sendiri. Karena, ia merasa menemukan sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
Kedua, guru tak (perlu) menasihati dan mengajarkan tentang karakter terhadap siswa. Karena jika ini yang ditempuh guru, pasti gagal. Sudah banyak buktinya.
Dengan memanfaatkan cerita, guru lebih rileks sekalipun menyentuh ranah yang (paling) berat, yaitu karakter. Sebab, dalam prosesnya, sebenarnya siswa lebih banyak melakukan dialog batin dengan cerita.
Memang guru sendiri harus sudah mengetahui terlebih dahulu isi cerita. Misalnya, tentang tokoh, karakter tokoh, konflik, dan relasi antartokoh.
Dengan begitu, guru dapat menjembatani dialog batin siswa dengan cerita. Maksudnya, guru mengarahkan agar siswa dapat menautkan dirinya dengan tokoh, karakter tokoh, konflik, dan relasi antartokoh dalam cerita.
Proses ini dapat dilakukan dengan sekadar, misalnya, bertanya jawab, komunikasi personal dengan siswa --dari satu siswa, lalu berpindah ke siswa yang lain---perihal yang ringan-ringan.
Contoh, apakah siswa pernah atau sedang mengalami konflik seperti dalam cerita; apakah siswa memiliki kebiasaan seperti kebiasaan tokoh dalam cerita.
Saya melakukan proses ini tak serius-serius banget. Santai saja sambil guyonan, yang ternyata dapat diimbangi oleh siswa sekalipun pertanyaan-pertanyaan seperti ditulis di atas ditujukan kepadanya.
Dan sekalipun dijawab dengan senyuman saja, saya sudah mengetahui jawaban sebenarnya. Siswa yang lain, sepertinya, juga mengetahui jawaban sebenarnya, sehingga mereka juga ikut senyum-senyum.
Dalam semua itu, saya memandang bahwa kekuatan merasuknya nilai-nilai karakter kedalam diri siswa setali tiga uang dengan cara memberi teladan. Sebab, sejatinya, tokoh-tokoh dalam cerita juga teladan bagi mereka.
Ketiga, bahan cerita begitu banyak, yang tentu dapat mencegah rasa bosan siswa. Mereka dapat menemukan beragam tokoh, beragam konflik, dan beragam relasi antartokoh.
Yang, tentu (saja) sangat memperkaya pengertian dan penghayatan siswa mengenai karakter. Karena mereka tak hanya menemukan banyak tokoh, karakter, dan relasi antartokoh dalam cerita. Tapi, juga dapat membandingkan satu dengan yang lain dalam banyak cerita.
Pengalaman yang saya temukan --selama ini-- siswa lebih menyukai membaca teks cerita ketimbang teks ilmu pengetahuan. Kenyataan ini tentu akan sangat menolong upaya guru, pun orang tua, dalam membentuk karakter siswa (baca: anak) melalui teks cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H