Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendesain Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam Kurikulum Merdeka untuk membangun karakter siswa. Sebab, ditengarai telah terjadi degradasi karakter siswa (baca: anak) dua dekade terakhir ini, yang diperparah pada masa pandemi Covid-19.
Baik guru, orangtua, maupun masyarakat memiliki penilaian yang relatif sama. Misalnya, sikap santun telah  berkurang, sikap gotong royong sudah menghilang, sikap kritis tak lagi ada, bertoleransi semakin menguap, dan betapa rendahnya semangat juang anak-anak kita, sekarang.
[Sebenarnya jika kita mau menyadarinya secara jujur, yang mengalami degradasi karakter tak hanya kalangan anak-anak. Tapi, orang dewasa juga. Bahkan, sangat mungkin adanya degradasi karakter pada anak karena terdampak dari orang dewasa.]
Tapi, karena anak-anak merupakan generasi penerus yang kelak harus mengemban tugas demi kemajuan bangsa dan negara, perlu dibekali karakter yang kuat. Tak mungkin membiarkan (begitu saja) mereka karena sudah pasti tantangan bangsa dan negara ke depan semakin berat dan beragam.
Dan, menyadari sumber membangun karakter dapat digali dari  Pancasila, dasar negara (kita), maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan karakter yang harus dimiliki anak-anak sebagai pelajar.
Nilai-nilai tersebut adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; berkebhinekaan global; bergotong royong; mandiri: bernalar kritis; dan kreatif.
Keenam nilai itu disebut sebagai dimensi profil pelajar Pancasila. Sehingga, anak-anak yang di dalam kehidupannya mengejawantahkan nilai-nilai termaksud, mereka disebut pelajar Pancasila.
Menanamkan keenam dimensi profil pelajar Pancasila ke dalam diri anak-anak didesain melalui pembelajaran P5. Pembelajaran P5 dikemas  berbeda dengan pembelajaran intrakurikuler. Karena pembelajaran P5 diaplikasikan dalam bentuk proyek.
Proyek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus (pengairan, pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya) dan dengan saat penyelesaian yang tegas.
Dengan begitu, jelas bahwa dalam pembelajaran P5, siswa diberi ruang untuk aktif. Mulai dari perencanaan proyek, pelaksanaan, hingga penyelesaian, siswa terlibat di dalamnya. Jadi, proyek ini adalah proyek siswa. Sementara, guru lebih berperan sebagai fasilitator.
Sebagai fasilitator, guru tak selalu memiliki potensi untuk memfasilitasi siswa dalam proyek. Sekalipun dalam perannya --berdasarkan pengalaman pembelajaran P5 yang sudah berjalan--- guru tak  sendiri. Guru tergabung dalam tim.
Oleh karena itu, demi memenuhi kebutuhan pembelajaran P5, sekolah acap kali menggandeng kelompok  masyarakat dalam beragam bidang keahlian. Hal ini terjadi karena tema-tema proyek yang ditawarkan (ada di dalam Kurikulum Merdeka) mereka lebih menguasai.
Tema-tema itu adalah (1) gaya hidup berkelanjutan; (2) bhineka tunggal ika; (3) kearifan lokal; (4) kewirausahaan; (5) bangunlah jiwa dan raga; (6) berekayasa dan berteknologi untuk membangun NKRI; dan (7) suara demokrasi.
Menyadari bahwa  kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan (khusus) dalam bidangnya masing-masing, maka sekolah dengan suka cita berguru kepada mereka. Mereka (kelompok masyarakat ahli di bidangnya) berbagi ilmu dan keterampilan. Baik kepada guru maupun langsung kepada siswa.
Seperti sekolah tempat saya mengabdi, misalnya, baru-baru ini sedang menggandeng pengusaha batik ecoprint (cetak ramah lingkungan), ini terkait dengan tema Kewirausahaan. Kebetulan lokasi usahanya berada di dekat lokasi sekolah.
Memandang segi efektivitas dan efisiensi, guru-guru berpelatihan ke lokasi usaha. Peralatan dan bahan tersedia. Guru-guru yang sudah berpelatihan, selanjutnya, berperan sebagai fasilitator bagi siswa saat proyek tema Kewirausahaan dengan topik Ecoprint dalam pembelajaran P5.
Selain itu, ketika sekolah mengangkat tema Kearifan lokal dalam topik Ampyang Maulid, siswa diajak turun ke masyarakat pelaku tradisi Ampyang Maulid, yang kebetulan lokasi desa yang melakukan tradisi tersebut tak jauh dari sekolah.
Mereka berkomunikasi langsung dengan tokoh-tokoh di desa tersebut yang menggumuli tradisi Ampyang Maulid. Mereka juga berwawancara langsung dengan masyarakat desa tersebut (sebagai pelaku tradisi Ampyang Maulid) untuk mengenali dan memperoleh banyak informasi tentang tradisi Ampyang Maulid.
Hal yang sama dilakukan ketika sekolah mengangkat tema  Gaya hidup berkelanjutan dalam topik Pengomposan. Sekolah menjalin hubungan dengan salah satu perusahaan besar di Kudus, Jawa Tengah, yang melakukan pengomposan terhadap limbah organik sisa hasil olahan pabrik.
Sekolah mendatangkan karyawan perusahaan tersebut yang menangani pengomposan. Siswa dibimbing dalam pengomposan. Karyawan perusahaan tersebut, dalam hal ini, dapat menjadi guru bagi siswa di sekolah tempat saya bekerja.
Pun demikian diberlakukan untuk tema-tema yang lain yang sudah diangkat dalam pembelajaran P5. Keterbatasan sekolah, dengan demikian, dilengkapi oleh kelompok masyarakat atau badan yang terampil di bidangnya.
Saya pikir, semua sekolah melakukan hal yang sama seperti sekolah tempat saya mengajar ketika melaksanakan pembelajaran P5. Yang, kebetulan mengangkat tema dan topik yang belum dikuasai oleh sekolah. Peran masyarakat, dalam hal ini, tak dapat diabaikan oleh sekolah.
Ini semua mau menunjukkan bahwa sekolah membutuhkan peran masyarakat dalam proses pembelajaran. Kebutuhan demikian sebetulnya sudah lama dilakukan. Tapi, sejak diberlakukannya pembelajaran P5, frekuensi sekolah menggandeng masyarakat lebih banyak.
Dari situ, entah kita sadari atau tidak, sejak pemberlakuan pembelajaran P5, sekolah semakin dekat dengan masyarakat. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, nyaris di hampir setiap pembelajaran P5 melibatkan peran masyarakat, baik perorangan maupun kelompok.
Dan, sebetulnya, semangat mendidik siswa dalam bentuk kerja sama antarbeberapa pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terutama, mengenai tripusat pendidikan yang  meliputi tiga hal, yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat.
Kerja sama mendidik siswa dalam konteks perundangan tersebut (tentu saja) harus dipahami sebagai usaha bersama-sama. Tak terpisah-pisah. Sekalipun ada saatnya terpisah. Tapi, mendidik siswa secara bersama-sama lebih terasa hasilnya.
Apalagi ketika dihubungkan dengan pembangunan karakter anak. Pembelajaran P5 yang melibatkan peran masyarakat dan (tentu juga) orangtua kekuatannya lebih dahsyat dalam membangun karakter anak ketimbang hanya diperankan oleh guru.
Masyarakat dan orangtua tentu sangat menguasai tema-tema proyek dalam pembelajaran P5 yang sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Karena mereka merupakan pelaku atau praktisi.
Maka, enam dimensi profil pelajar Pancasila yang dihayatkan terhadap siswa melalui peran serta masyarakat dan orangtua, baik langsung maupun tak langsung, dipastikan sangat mengena.
Tambahan, dalam pembelajaran P5, siswa terlibat langsung sejak perencanaan, pelaksanaan, penyelesaian, hingga pelaporan proyek, yang artinya mudah-sulitnya, suka-dukanya, berat-ringannya siswa merasakan. Maka, enam dimensi profil pelajar Pancasila diyakini lebih mudah merasuk ke dalam diri siswa.
Pada akhirnya, begitu penting pembangunan karakter anak-anak (profil pelajar Pancasila) melalui pembelajaran P5, yang melibatkan peran serta masyarakat dan orangtua. Karenanya, saat ini dan ke depan, sudah semestinya sekolah semakin membangun kedekatan dengan masyarakat dan orangtua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H