Dengan begitu, jelas bahwa dalam pembelajaran P5, siswa diberi ruang untuk aktif. Mulai dari perencanaan proyek, pelaksanaan, hingga penyelesaian, siswa terlibat di dalamnya. Jadi, proyek ini adalah proyek siswa. Sementara, guru lebih berperan sebagai fasilitator.
Sebagai fasilitator, guru tak selalu memiliki potensi untuk memfasilitasi siswa dalam proyek. Sekalipun dalam perannya --berdasarkan pengalaman pembelajaran P5 yang sudah berjalan--- guru tak  sendiri. Guru tergabung dalam tim.
Oleh karena itu, demi memenuhi kebutuhan pembelajaran P5, sekolah acap kali menggandeng kelompok  masyarakat dalam beragam bidang keahlian. Hal ini terjadi karena tema-tema proyek yang ditawarkan (ada di dalam Kurikulum Merdeka) mereka lebih menguasai.
Tema-tema itu adalah (1) gaya hidup berkelanjutan; (2) bhineka tunggal ika; (3) kearifan lokal; (4) kewirausahaan; (5) bangunlah jiwa dan raga; (6) berekayasa dan berteknologi untuk membangun NKRI; dan (7) suara demokrasi.
Menyadari bahwa  kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan (khusus) dalam bidangnya masing-masing, maka sekolah dengan suka cita berguru kepada mereka. Mereka (kelompok masyarakat ahli di bidangnya) berbagi ilmu dan keterampilan. Baik kepada guru maupun langsung kepada siswa.
Seperti sekolah tempat saya mengabdi, misalnya, baru-baru ini sedang menggandeng pengusaha batik ecoprint (cetak ramah lingkungan), ini terkait dengan tema Kewirausahaan. Kebetulan lokasi usahanya berada di dekat lokasi sekolah.
Memandang segi efektivitas dan efisiensi, guru-guru berpelatihan ke lokasi usaha. Peralatan dan bahan tersedia. Guru-guru yang sudah berpelatihan, selanjutnya, berperan sebagai fasilitator bagi siswa saat proyek tema Kewirausahaan dengan topik Ecoprint dalam pembelajaran P5.
Selain itu, ketika sekolah mengangkat tema Kearifan lokal dalam topik Ampyang Maulid, siswa diajak turun ke masyarakat pelaku tradisi Ampyang Maulid, yang kebetulan lokasi desa yang melakukan tradisi tersebut tak jauh dari sekolah.
Mereka berkomunikasi langsung dengan tokoh-tokoh di desa tersebut yang menggumuli tradisi Ampyang Maulid. Mereka juga berwawancara langsung dengan masyarakat desa tersebut (sebagai pelaku tradisi Ampyang Maulid) untuk mengenali dan memperoleh banyak informasi tentang tradisi Ampyang Maulid.
Hal yang sama dilakukan ketika sekolah mengangkat tema  Gaya hidup berkelanjutan dalam topik Pengomposan. Sekolah menjalin hubungan dengan salah satu perusahaan besar di Kudus, Jawa Tengah, yang melakukan pengomposan terhadap limbah organik sisa hasil olahan pabrik.