Saat kami mengantar salah satu teman guru yang mutasi ke sekolah yang baru beberapa waktu yang lalu karena promosi jabatan, saya melihat para murid di sekolah itu melakukan aktivitas yang menarik untuk direnungkan.
Aktivitas itu adalah membuat ketupat. Ketupat merupakan hasil budi daya generasi terdahulu yang hingga kini masih diakui keberadaannya.
Karena, di daerah kami (kemungkinan di daerah lain juga), seminggu setelah lebaran, ketupat masih menjadi tanda budaya, yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat. Ketupat biasanya disandingkan dengan lepet.
Dalam momen seperti itu, kami sering mendapat kiriman dari teman atau tetangga. Seperti juga beberapa waktu yang lalu.
Menjelang tradisi kupatan, yaitu masa yang dahulu ditandai dengan kesibukan banyak orang membuat ketupat (atau kerangka ketupat lebih tepatnya), kini tidak mudah ditemukan.
Fenomena ini sekaligus menandai bahwa tidak setiap keluarga mampu membuat kerangka ketupat. Penyebabnya di antaranya adalah orang tidak lagi terbiasa menganyam janur. Karena orang lebih memilih praktisnya.
Sebab, ternyata, kerangka ketupat sudah banyak dijual di pasar. Orang tinggal membeli. Orang tidak perlu repot-repot menganyam janur membikin kerangka ketupat. Cukup dengan uang, orang sudah bisa memasak ketupat.
Bahkan, lebih praktis lagi, bisa saja orang membeli ketupat matang. Sebab, ada orang yang menjualnya pada saat tradisi kupatan.
Bagi orang yang cerdas membaca peluang usaha, berjualan kerangka ketupat atau ketupat matang, juga lepet pada masa tradisi kupatan bisa menjadi usaha yang menarik.
Kenyataan ini akan semakin menjauhkan orang dari proses-proses mencipta yang pernah dilakukan oleh generasi dahulu. Padahal, proses-proses mencipta oleh generasi dahulu sejatinya banyak yang masih dibutuhkan oleh generasi masa kini.