Sejak saya sekolah dasar (SD) hingga kini, usaha kesehatan sekolah (UKS) masih eksis. Malah di beberapa sekolah, kini diperkuat dengan adanya ekstrakurikuler palang merah remaja (PMR).
Mereka yang mengikuti ekstrakurikuler ini diedukasi tentang penanganan orang sakit. Baik karena sakit pada umumnya maupun karena kecelakaan.
Memang edukasinya masih bersifat mendasar. Tetapi, setidaknya kemampuan dasar tersebut dapat dipraktikkan dalam lingkungan sekolah. Yaitu, menolong murid lain yang sedang sakit.
Sehingga, mereka yang memang memiliki passion di bidang kesehatan memperoleh ruang untuk mengembangkan potensi diri. Keterampilan kesehatannya akan semakin terasah dalam praktik menolong murid lain yang jatuh sakit.
Pun demikian murid-murid yang membutuhkan pertolongan akhirnya dapat tertangani. Meskipun tertanganinya tidak menyerupai pertolongan di poliklinik, puskesmas, atau rumah sakit.
Tetapi, setidak-tidaknya, sudah ada pertolongan pertama. Pertolongan ini bersifat cepat dan mendesak.
Karenanya, kalau pertolongan pertama ini dipandang kurang memberi efek, murid yang sakit dapat diteruskan ke poliklinik, puskesmas, atau rumah sakit.
Dalam semua proses itu, murid sudah diedukasi mengenai langkah menghadapi kondisi kesehatan menggunakan pendekatan medis. Ini berlaku bagi baik murid yang bertugas merawat maupun murid yang dirawat.
Dengan begitu, kerangka berpikir kedua pihak --baik yang merawat maupun yang dirawat-- sudah diarahkan ke hal-hal yang logis, ilmiah, dan analisis data. Sekalipun tentu saja masih dalam taraf yang (sangat) sederhana.
Karenanya, selama ini, sekolah (yang di dalamnya termasuk UKS yang menjadi pusat edukasi murid tentang kesehatan) bekerja sama dengan puskesmas.
Misalnya, beberapa kali puskesmas melakukan vaksin Covid-19 terhadap murid, guru, dan karyawan. Kemudian, juga melakukan gerakan tambah darah, khususnya bagi murid putri.
Bahkan, beberapa sekolah mengadakan kerja sama dengan sekolah kejuruan yang memiliki jurusan keperawatan.
Dengan cara, misalnya, murid sekolah kejuruan tersebut melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di salah satu sekolah yang menjadi sasaran.
Di SMP tempat saya mengajar, misalnya, beberapa kali ditempati murid PKL bidang kesehatan.
Untuk memaksimalkan fungsi UKS selama PKL, mereka bertugas di UKS. Memberikan layanan kesehatan (yang sebatas mereka bisa melakukannya) kepada warga sekolah.
Hal ini, disadari atau tidak, semakin menguatkan logika murid-murid bahwa gangguan kesehatan selalu diselesaikan dengan pendekatan modern.
Karenanya, mereka bisa jadi tidak mengenal bahwa sebenarnya, selain pelayanan secara modern, ada juga pelayanan secara tradisional.
Saya memandang kadang-kadang di UKS digunakan juga untuk menangani gangguan kesehatan dengan pelayanan tradisional. Misalnya, pernah suatu kali ada murid yang terpeleset hingga terkilir.
Murid tersebut sulit berjalan. Akhirnya, dibantu berjalan sampai ke UKS. Di UKS, salah satu guru olahraga melakukan pemijatan dengan menggunakan minyak di bagian yang ditandai dapat memulihkan.
Ada juga murid putra yang oleh karena faktor tertentu tetiba sesak napas. Hingga terlihat pucat dan badannya dingin.
Oleh guru olahraga yang sama, murid ini diminta untuk menarik dan melepas napas. Tindakan ini dilakukan berulang-ulang secukupnya.
Selain itu, juga dilakukan pemijatan dengan menggunakan freshcare di beberapa bagian tubuh. Saya juga ikut memijatnya. Dan, syukurlah, beberapa waktu kemudian, murid kami itu berangsur membaik.
Layanan seperti ini termasuk pengobatan tradisional. Karena, layanan demikian sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer pada Bab II, Bagian Kedua, Pasal 6, ayat 1 dan 2.
Pada ayat 1 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional komplementer dilakukan dengan menggunakan: (a) keterampilan; (b) ramuan; atau (c) kombinasi dengan memadukan antara keterampilan dan ramuan.
Sementara itu, pada ayat 2 dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang menggunakan cara keterampilan dapat diklasifikasi menjadi: (a) teknik manual; (b) terapi energi; dan (c) terapi olah pikir.
Dua kejadian murid kami yang mendapat pertolongan dari guru olahraga, dengan demikian, dapat dikategorikan ke dalam teknik manual dengan cara kombinasi antara keterampilan dan ramuan. Hanya, ramuannya sudah produk modern.
Tanaman obat
Predikat sekolah adiwiyata yang akhir-akhir ini banyak diperoleh oleh banyak sekolah, justru memiliki peluang edukasi terhadap murid mengenai pengobatan tradisional. Sebab, sekolah adiwiyata umumnya memiliki lahan bertanam berbagai tanaman, termasuk tanaman obat-obatan.
Nah, hal ini akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan secara baik. Tanaman obat-obatan dapat dimanfaatkan untuk kesehatan murid. Misalnya, kencur, dapat digunakan untuk menyembuhkan batuk.
Saya pernah memanfaatkannya untuk menyembuhkan batuk. Cukup dengan mengunyahnya sedikit-sedikit setelah dibersihkan, batuk saya bisa mereda dalam waktu yang relatif cepat. Dan, suara saya menjadi lebih bening, tidak parau.
Hingga kini, saya masih setia memanfaatkannya jika saya sedang batuk. Saya juga pernah menyarankan kepada salah satu murid saya yang akan mengikuti lomba menyanyi untuk memanfaatkan kencur agar suaranya lebih bagus.
Tanaman yodium juga bermanfaat. Getahnya dapat untuk menghentikan darah karena bagian tubuh luka baru. Jika luka baru ini ditetesi getah tanaman yodium, dijamin darah membeku.
Masih banyak jenis tanaman yang bisa untuk bahan obat, selain kencur dan yodium. Tetapi, tidak banyak orang, termasuk murid-murid, yang mengetahui.
Oleh karena itu, melalui program UKS, murid sudah semestinya mendapat edukasi tentang pengobatan tradisional.
Sebab, betapa pun, kita, termasuk murid-murid, terlahir di bumi yang kaya tanaman obat dan tradisi --termasuk kebiasaan memanfaatkan alam untuk obat-- yang turun-temurun dari leluhur.
Upaya ini tentu saja tidak kemudian kita menampik pengobatan modern. Tidak. Tetapi, dalam kondisi tertentu, bisa saja orang membutuhkan pengobatan tradisional.
Apalagi keberadaannya bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Termasuk kelompok masyarakat yang prasejahtera.
Bahwa pada masa modern ini pengobatan tradisional masih dibutuhkan banyak orang dibuktikan melalui fenomena Ida Dayak. Masyarakat begitu antusiasme untuk mendapat layanan pengobatan.
Tentu tidak ada yang salah yang dilakukan oleh Ida Dayak, yang memanfaatkan sumber daya alam (SDA) untuk pengobatan.
Bahkan, penggalian pemanfaatan SDA sangat penting untuk dikembangkan dalam kepentingan pengobatan tradisional. Toh alam memang menyediakan bahan-bahannya.
Ikhtiar ini, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari kajian ilmiah. Justru agar didapatkan efek yang mujarab, kajian ilmiah perlu dikedepankan terkait dengan penggalian pemanfaatan SDA untuk pengobatan (tradisional).
Murid-murid yang diedukasi mengenai pengobatan tradisional melalui program UKS sebagai salah satu bentuk investasi pengetahuan dan keterampilan.
Agar, ke depan generasi muda tidak hanya mudah terpengaruh oleh pengobatan yang mengatasnamakan pengobatan tradisional, tetapi juga bisa berinisiatif memanfaatkan alam untuk dijadikan obat, yang mungkin sebagai pertolongan pertama. Syukur-syukur justru menjadi pertolongan yang bersifat selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H