Yang diawali dengan mencari kayu ke sana ke mari. Kadang juga harus memanjat pohon. Merontokkan cabang atau ranting kayu yang kering.
Kalau ada yang demikian, riang hati kami. Sebab, tidak perlu ada proses mengeringkan terlebih dahulu. Ibu kami --seperti sudah disebutkan di atas-- juga senang sebab kayu bisa langsung digunakan untuk memasak.
Lokasi berburu kayu di bukit-bukit, yang keadaan tanahnya turun-naik. Jalan yang kami lewati juga turun-naik sehingga membutuhkan energi yang ekstra.
Bahkan, bisa-bisa di tengah perjalanan pulang, kami istirahat dahulu beberapa menit untuk menormalkan napas dan melepas lelah. Sebab, beban (kayu bakar) di pundak  (bagi laki-laki) dan di pinggang (bagi wanita) pun perlu dilepas sejenak.
Ramadan tiba
Begitu Ramadan tiba, tidak ada lagi rutinitas berburu kayu bakar. Sebab, kebutuhan kayu untuk memasak sudah diperkirakan terpenuhi dengan tabungan kayu bakar.
Hanya, begini yang dikatakan istri saya, sekalipun tidak berburu kayu, masih ada aktivitas lain yang bisa dilakukan. Yang sering dilakukan adalah mengambili (bunga) cengkeh yang jatuh dari pohonnya.
Cengkeh, Pada akhir 1970-an memang sedang  booming. Orang-orang desa, termasuk di desa kami, sebagian besar menanamnya karena waktu itu harga cengkeh sangat menjanjikan.
Cengkeh kadang  memang jatuh ketika belum musim petik. Bisa karena faktor cuaca atau penyakit. Tetapi, oleh orang yang memilikinya cengkeh yang jatuh itu dikumpulkan dan dikeringkan untuk dijual.
Dan, masih mendapatkan uang sekalipun tidak semenguntungkan cengkeh yang dipanen sesuai masa petik.
Karenanya untuk memanfaatkan waktu yang ada sekaligus tidak menuntut banyak energi, mengambili cengkeh yang jatuh itu menjadi aktivitas yang biasa dilakukan saat Ramadan karena saat Ramadan memang istirahat berburu kayu bakar.