Itu sebabnya, setiap pulang sekolah, anak-anak pada masa itu berburu kayu bakar. Aktivitas itu lebih sering dilakukan secara bersama. Sekalipun sampai di lokasi berburu, kami mencari sendiri-sendiri.
Kalau yang laki-laki biasanya memikul atau memanggul. Sementara yang wanita, mengendong. Bisa kayu kering, bisa juga kayu basah.
Kalau kayu basah berarti harus melalui proses penjemuran terlebih dahulu sebelum digunakan untuk memasak.
Oleh karena itu, anak-anak, juga orangtua kami (terutama ibu kami) lebih menyukai kayu yang kering karena siap pakai.
Itu kesibukan anak-anak sepulang sekolah, selain ada yang sebagian dari mereka juga menggembalakan kambing atau sapi.
Saya termasuk yang kelompok ini. Selain berburu kayu bakar, juga menjadi sang gembala kambing.
Bagi keluarga tertentu, terutama yang beragama Islam, di kampung kami, rutinitas mencari kayu bakar berhenti ketika memasuki Ramadan. Sehingga sebelum memasuki Ramadan harus menabung kayu bakar.
Keluarga istri saya, yang merupakan keluarga Bhineka Tunggal Ika, ada yang Islam dan Kristen, juga melakukan hal serupa. Menabung kayu bakar menjelang Ramadan.
Ini sudah menjadi kebiasaan. Turun-temurun, waktu itu. Kayu bakar kering memiliki tempat khusus yang disusun rapi dan diusahakan tidak menempel di tanah untuk menghindari ganasnya rayap dan juga tidak kehujanan.
Diupayakan tabungan kayu bakar cukup untuk kebutuhan selama Ramadan. Karena selama Ramadan, seperti yang diakui oleh istri saya, tidak ada lagi aktivitas berburu kayu.
Berburu kayu waktu itu memang memakan energi. Sebab, kami menempuh perjalanan yang kadang jauh dari lokasi tempat tinggal kami.