Ternyata tidak setiap orangtua yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan hebat dapat mengajarkan cinta secara benar. Terhadap anak, orangtua memiliki tugas untuk mendidiknya, termasuk mengajarkan cinta.
Tetapi, pendidikan cinta yang seharusnya ditumbuhkan dalam diri anak sejak dalam keluarga sering terabaikan oleh orangtua. Karena orangtua sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini terkait dengan ketahanan hidup.
Memang ada dan banyak orangtua yang harus  bekerja keras untuk memenuhi tuntutan agar keluarga  bertahan hidup. Sampai-sampai kehabisan waktu untuk mendidik anaknya. Karena waktu berada di rumah sangat sedikit.
Saat orangtua tiba di rumah, anak sudah tidur. Saat orangtua berangkat kerja, anak belum bangun. Realitas ini banyak dialami oleh masyarakat menengah ke bawah. Dengan begitu, anak-anak mengalami pertumbuhan secara kurang terkontrol.
Harus diakui bahwa dalam kondisi keluarga yang  demikian bisa saja terbentuk anak yang baik. Tetapi, tidak sedikit ada juga yang terbentuk anak yang kurang baik.
Dalam konteks itu, anak yang tumbuh baik tentu ia belajar dari lingkungannya, dengan melihat dan meneladani kebaikan dari orang-orang yang dilihat, dikenal, dan  diakrabi. Pun demikian anak yang tumbuh kurang baik tentu belajar dari lingkungannya, dengan melihat dan meneladani keburukan.
Pada titik ini peran orangtua sangat penting. Tetapi, sering peran itu dibawakan secara keliru. Karena ada orangtua yang mencintai anak sebatas mencukupi kebutuhan materinya. Ini tentu saja  lebih banyak dilakukan oleh keluarga yang berlimpah harta.
Namun, tidak semua keluarga yang berlimpah harta mencintai anaknya dengan sebatas mencukupi kebutuhan materinya. Banyak orangtua berlimpah harta yang sangat memperhatikan anaknya secara utuh. Sehingga, anak-anak mereka menjadi anak yang peduli, mencintai, dan menghargai sesama.
Ada juga sebetulnya keluarga (baca: orangtua) Â yang secara ekonomi pas-pasan, bahkan kurang, memberlakukan anaknya selayaknya dari keluarga kaya. Kasus ini lebih banyak karena faktor anak. Anak yang ingin semua kebutuhan, bahkan keinginannya, dipenuhi tanpa melihat kondisi orangtua.
Kasus yang seperti ini bisa saja ditemukan di sekolah. Orangtua yang memiliki anak demikian umumnya datang ke sekolah. Menemui guru bimbingan konseling (BK) untuk menyampaikan keluhan-keluhan.
Tentu dengan maksud agar guru membantu menasihati anak bersangkutan. Orangtua biasanya menyampaikan pemikiran bahwa anak akan lebih menurut dinasihati oleh guru ketimbang orangtua. Harapannya si anak menjadi pribadi yang lebih baik.
[Benar bahwa akhirnya guru BK memberi nasihat kepada anak yang bersangkutan. Yang umumnya diawali dengan anak diajak bercerita tentang kehidupannya sehari-hari, baik di rumah, di lingkungan, maupun relasi dengan teman-teman sekolah dan guru. Dari situ, guru BK menuntun anak untuk berubah yang lebih baik.
Tetapi, sejauh saya mengikuti program guru BK mengenai kasus seperti itu, tidak semua anak bisa berubah. Artinya, ada anak yang bisa berubah. Tetapi, ada juga yang sebentar berubah, selanjutnya kembali seperti semula. Terkait dengan yang disebut terakhir ini, orangtua sering bolak-balik ke sekolah berkonsultasi.]
Dalam hal orangtua berlimpah harta yang kemudian ditemukan anaknya tidak peduli, mencintai, dan menghargai sesama, boleh jadi orangtua ini mengajarkan cinta hanya sebatas melalui hartanya. Anak hanya dicukupi kebutuhan materinya. Tidak kebutuhan rohani, mental, dan spiritual.
Dalam praktiknya yang penting adalah ketika kebutuhan bahkan keinginan anak terpenuhi, dipandang  sudah beres. Apalagi jika sang anak ketika kebutuhan bahkan keinginannya itu sudah terpenuhi merasa nyaman dan aman, tentu dianggap tidak lagi ada persoalan.
Tentu orangtua yang demikian memandang bahwa mencintai anak cukup dengan harta. Sang anak terlihat senang gembira, pun orangtua turut senang gembira. Baginya, itu wujud cinta untuk anak.
Secara umum memang begitu anak-anak. Senang dengan uang, benda, dan kemewahan. Sangat jarang, atau bahkan tidak ada, anak yang menolak uang, benda, dan kemewahan. Berangkat ke sekolah tidak diberi uang saku saja, rerata anak-anak kehilangan semangat belajarnya.
Sejujurnya tidak hanya anak yang memiliki sikap seperti itu. Kita, orang yang dewasa, pun suka dengan uang, benda, dan kemewahan. Mungkin tidak ada satu pun orang dewasa yang menolak uang, benda, dan kemewahan.
Contoh yang paling sederhana adalah ada kecenderungan semua orang, termasuk orangtua (baca: orang dewasa), senang ada doorprize ketika mengikuti kegiatan daripada tidak ada. Oleh karenanya, sering-sering kegiatan ramai diikuti banyak orang kalau ada doorprize-nya. Kalau tidak ada doorprize-nya, sepi pengikut.
Orientasi seperti itu yang sangat terlihat dalam kehidupan  masa sekarang. Baik di kalangan orang dewasa maupun anak-anak. Akhirnya, orang kurang mementingkan esensi kegiatannya, misalnya bersosialisasi antarsesama, keakraban, empati, saling menghormati, dan saling membantu.
Sehingga, yang terbentuk dalam diri orang kemudian ingin memiliki, menguasai, sewenang-wenang, menyingkirkan pihak lain, dan mementingkan diri sendiri. Bahkan, bukan mustahil lahir sikap sombong dan hedonis.
Dalam keberadaan lingkungan seperti itu, diakui atau tidak, anak bisa saja terpengaruh. Apalagi jika keluarga, dalam hal ini orangtua, memberi kemudahan. Salah satunya, keinginan anak selalu dipenuhi. Tentu saja anak merasa menemukan habitat yang sesuai. Potensi buruknya akan tumbuh.
Boleh jadi Mario Dandy Satriyo salah satu contohnya. Anak yang terbentuk oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun pergaulan yang mendukung potensi buruknya bertumbuh.  Keluarga menyediakan semua yang dinginkan, sementara lingkungan pergaulannya menerima  dengan semangat jiwa yang sama.
Anak-anak yang serupa Mario Dandy Satriyo tentu ada. Entah berapa banyak, kita sulit menghitungnya. Mereka adalah anak-anak yang sangat dicintai oleh orangtuanya.
Hanya, orangtua mereka mencintainya dengan sentuhan harta dan melupakan sentuhan jiwa. Jadi, Mario Dandy Satriyo dan anak-anak lain yang serupanya merupakan korban ajaran cinta yang tersesat dari orangtua.
Sikap orangtua
Itu sebabnya, sudah seharusnya orangtua, lebih-lebih yang berlimpah harta, mencintai anak secara seimbang. Tidak sebatas mencintai dengan harta, tetapi lebih daripada itu harus mencintai dengan jiwa.
Sebab, sudah banyak kita saksikan orangtua yang mencintai anaknya dengan harta, tetapi mengabaikan mencintai dengan jiwa, ujung-ujungnya menimbulkan rasa malu terhadap orangtua dan keluarga.
Mungkin peristiwa tersebut tidak semua bisa diketahui publik secara nasional, bahkan internasional, karena tidak semua bersumber dari keluarga pejabat yang terpandang atau publik figur. Bisa-bisa mereka dari keluarga biasa, tetapi berlimpah harta.
Yang disebut terakhir, rasa malu orangtua dan keluarga akibat anak yang salah asuh --karena hanya dicintai dengan harta--- tidak akan viral. Paling-paling hanya tersiar di kalangan terbatas. Mungkin hanya sebatas keluarga, saudara, sejauh-jauhnya lingkungan.
Namun, baik yang viral maupun tersiar terbatas, di baliknya, anak tetap menjadi korban. Dalam kasus Mario Dandy Satriyo, misalnya, ia harus di-DO dari kampusnya yang dapat dipahami sebagai eksekusi.
Ini jelas semakin membunuh karakter anak. Sebab, Â sebelumnya dan setelahnya tentu mendapat cercaan dari masyarakat, baik melalu media sosial maupun langsung.
Kalau dalam bahasa Jawa ada bebasan anak polah bapa kepradah (artinya anak bertingkah buruk orangtua terkena malu), seharusnya dilengkapi dengan frasa among bapa salah (artinya layanan atau didikan orangtua salah).
Sebab, dalam banyak kasus anak, orangtua salah dalam mendidik anaknya. Seperti dalam kasus Mario Dandy Satriyo. Maka, mari selamatkan anak-anak kita dengan ajaran cinta yang benar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H