Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siswa Bertengkar, Bagaimana Guru Menyikapinya?

14 Februari 2023   09:53 Diperbarui: 14 Februari 2023   12:40 1755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sosialisasi terhadap siswa tentang perundungan (Dokumentasi pribadi)

Mungkin tidak ada satu sekolah pun yang terbebas dari adanya siswa yang bertengkar. Sekalipun mungkin jarang terjadi. Tetapi, realitas itu tetap saja mengganggu. Sekolah menjadi tidak aman dan nyaman untuk belajar.

Tidak aman dan nyaman tersebut awalnya memang hanya dirasakan oleh beberapa siswa. Terutama siswa yang mengalaminya. Tetapi, bukan mustahil kalau kemudian meluas kepada siswa lain yang berada dalam satu kelas dengan siswa yang bersangkutan.

Karena umumnya perilaku seperti itu diketahui oleh teman-teman satu kelas. Hanya, karena mungkin faktor takut, mereka tidak segera memberitahukan kepada guru agar ditindaklanjuti.

Mereka hanya diam. Berpura-pura tidak mengetahui. Atau, bahkan menyembunyikan problem tersebut agar seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Padahal, disadari atau tidak, upaya menyembunyikan hal tersebut tidak berarti aman dan nyaman. Mungkin malah ada perasaan yang tertekan.

Di sekolah yang sudah mendeklarasikan diri sebagai sekolah ramah anak pun sangat mungkin masih ada siswa yang bertengkar.

Sebab, tidak semua siswa di sekolah tersebut dapat menghayatinya. Keberadaan sekolah ramah anak dengan demikian hanya sebatas diketahui dan tidak dipraktikkan.

Pertengkaran antarsiswa kadang disebabkan oleh hal yang sederhana. Misalnya, berawal dari bersenda gurau. Hal ini yang umum dilakukan oleh siswa di sekolah. Mereka hanya ingin bersenang-senang, kelucuan, dan tertawaan.

Tetapi, mungkin karena tidak terkontrol, mereka terbawa dalam situasi tidak menguntungkan. Satu terhadap yang lain berubah menjadi saling mengejek. Dan, akhirnya mengarah ke pertengkaran.

Sebab, bahan untuk bersenang-senang, kelucuan, dan tertawaan tersebut biasanya memakai nama-nama orangtua. Bahan itu cepat mengundang tawa memang. Tetapi, tampaknya mereka belum menyadari bahwa cara itu mengundang risiko buruk.

Karenanya, ketika guru mengetahuinya, langsung menegur dan menasihatinya. Bahwa bersenda gurau dengan menyebut-sebut nama orangtua, selain berisiko buruk juga tidak etis.

Tentang itu sebenarnya mereka memahami. Tetapi, begitu teguran dan nasihat berlalu, bisa muncul lagi senda gurau yang serupa. Begitulah alam anak.

Karena usil mengambil barang milik teman hanya untuk main-main, kadang juga menjadi penyebab pertengkaran. Itu terjadi karena ada salah paham. Selalu saja ada hal yang dapat memantik perilaku buruk itu di antara mereka.

Sikap guru

Berhadapan dengan hal tersebut, guru satu dengan yang lain ternyata menyikapinya secara berbeda. Pertama, ada guru yang langsung menindaklanjuti, dalam arti menyelesaikan persoalan tersebut.

Karena, guru ini beranggapan bahwa persoalan pertengkaran siswa juga menjadi tanggung jawabnya. Sehingga, dengan suka cita ia mau ambil peran dalam membantu siswanya yang bertengkar untuk menemukan solusi terbaik.

Sudah pasti guru ini tidak berpikir bahwa tanggung jawabnya hanya mengajarkan mata pelajaran yang diampu. Tetapi, juga turut membangun mental moral siswa.

Tentu seperti itulah seharusnya seorang guru. Sebab, tugas guru adalah mengajar dan mendidik. Selain mengajarkan ilmu pengetahuan, juga mendidik karakter siswa.

Guru yang demikian tidak menghitung waktu dalam mengabdikan dirinya. Sebab, bukan mustahil waktu yang seharusnya untuk istirahat, justru untuk mendampingi siswa bermasalah.

Tidak banyak jumlah guru yang mau ambil peran dalam hal seperti itu. Paling satu-dua guru saja. Lainnya  mungkin beranggapan  bahwa tugas tersebut bagiannya kesiswaan dan guru bimbingan dan konseling (BK).

Maka, kedua, ada juga guru yang menyerahkan persoalan pertengkaran siswa langsung kepada bagian kesiswaan. Tentu ini tidak salah. Sebab, persoalan yang dihadapi siswa tersebut termasuk dalam tanggung jawab bagian kesiswaan.

Oleh karena itu, bagian kesiswaan biasanya diampu oleh beberapa guru. Karena di dalamnya ada pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Jumlah siswa yang banyak, memang harus diimbangi dengan jumlah guru dalam bagian kesiswaan yang banyak.

Dengan begitu, persoalan-persoalan siswa yang timbul dapat lebih cepat diselesaikan. Tetapi, ini bukan berarti guru yang tidak berperan dalam bagian kesiswaan, tidak boleh ikut  ambil bagian dalam menyelesaikan permasalahan siswa.

Tentu saja boleh. Dan, justru keterlibatannya diharapkan. Sebab, tugas guru --seperti sudah disebut di atas---mengajar dan mendidik. Itu artinya, semua guru memiliki tanggung jawab moral yang sama terhadap siswa.

Selain itu, sebanyak-banyaknya guru bagian kesiswaan tetaplah terbatas. Sebab, guru bagian kesiswaan juga mengampu mata pelajaran tertentu, seperti halnya guru mata pelajaran yang lain.

Meskipun begitu, biasanya bagian kesiswaan berusaha menyelesaikan persoalan yang dihadapi siswa. Dan, melakukan kolaborasi dengan guru BK.

Ketiga, ada juga guru yang menyerahkannya kepada guru BK. Sebab, persoalan siswa bertengkar dipandangnya sebagai siswa bermasalah yang harus diberi bimbingan secara khusus.

Pemberian bimbingan secara khusus memang lebih dekat dengan tugas dan fungsi guru BK. Sehingga,  tidak salah mengalamatkan siswa bermasalah, termasuk siswa yang bertengkar, kepada guru BK.

Karena itu, di guru BK, persoalan siswa bertengkar sudah pasti mendapat penanganan. Dimulai dari komunikasi antara siswa yang bersangkutan dengan guru BK. Dari hasil komunikasi, disimpulkan dan ditemukan solusinya.

Sekalipun sebetulnya, guru BK tidak selalu menangani siswa yang bermasalah. Guru BK menjadi tempat berkonsultasi semua siswa, termasuk siswa yang tidak bermasalah.

Misalnya, siswa yang berprestasi dapat saja diundang guru BK. Komunikasinya dapat mengarah terhadap cara belajar dan kebiasaan positif siswa bersangkutan. Hasilnya, dapat dibagikan agar menginspirasi siswa lain.

Lebih daripada itu, siswa berprestasi yang ada di sekolah tersebut melalui BK dapat dimintai bantuan untuk menjadi teman belajar bagi siswa yang memerlukan. Belajar secara tutor sebaya sering-sering lebih efektif.

Keempat, pun ada guru yang menegur dan menasihati sekadarnya terhadap siswa yang bertengkar. Tidak sampai menyelesaikan persoalan hingga akarnya. Cukup meminta siswa yang terlibat untuk saling meminta maaf.

Padahal, belum tentu kemauan saling memaafkan itu sungguh-sungguh keluar dari kedalaman hati mereka. Boleh jadi hanya sebagai respon permintaan guru agar guru yang bersangkutan merasa senang.

Itu artinya dalam diri siswa masih tersimpan akar kepahitan. Yang,  bukan tidak mungkin pada waktu lain hanya karena tersulut oleh perihal sepele, timbul pertengkaran lagi.

Melibatkan siswa

Oleh karena itu, diperlukan kepedulian guru dalam menyelesaikan persoalan siswa hingga tuntas. Penyelesaian secara tuntas yang dapat diterima semua pihak dipastikan dapat meneduhkan relasi antarsiswa bersangkutan.

Caranya, undang semua siswa yang terlibat dalam pertengkaran untuk bertemu dalam pendampingan guru. Melalui pertemuan itu, guru dapat menanyakan kejadian secara  kronologis.

Setiap siswa yang terlibat diberi kesempatan untuk menceritakan kejadian. Siswa yang lain menyimak. Dan, ia tidak boleh menyela cerita yang baru disampaikan sekalipun mungkin cerita tersebut menyudutkannya.

Itu sebabnya, guru harus mengarahkan bahwa cerita yang disampaikan harus utuh dan jujur. Guru tentu dapat mencermati setiap cerita yang disampaikan, apakah cerita tersebut benar atau sekadar dibuat-buat.

Kalau dalam pencermatan guru ternyata cerita tersebut dibuat-dibuat, maka guru harus mengingatkan siswa tersebut untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Tidak  menceritakan yang bersifat  menguntungkannya.

Pada titik ini guru memang perlu cermat. Berusaha tidak terlena oleh  cerita siswa. Mengikuti alur logika cerita siswa dan memahami setiap bagian ceritanya akan membantunya memahami kejadian sesungguhnya.

Sikap guru seperti itu berlaku juga terhadap siswa lain yang mendapat kesempatan bercerita berikutnya. Pencermatan alur logika cerita siswa tersebut pada akhirnya akan menuntun guru menemukan kesamaan atau perbedaan cerita dari semua siswa yang terlibat.

Ketika menemukan perbedaan, guru dapat mengonfirmasikannya langsung kepada siswa lain sehingga guru dapat menyimpulkan kejadian yang sebenarnya di hadapan semua siswa yang terlibat. Siswa dapat menyampaikan pembelaan jika ada kesalahan dalam penyimpulan itu.

Ini sebuah langkah penyelesaian masalah siswa yang memberi ruang bagi siswa sendiri untuk turut memecahkannya dan mengambil keputusan terbaik.

Dengan demikian, siswa yang merasa bersalah akan mengakui kesalahannya. Sementara, siswa yang tidak bersalah langsung mendapatkan penguatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun