Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membuat Siswa Terlibat Belajar, Bagaimana Memulainya?

1 Februari 2023   23:33 Diperbarui: 2 Februari 2023   03:01 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajar mencatat dalam pembelajaran tatap muka (PTM) di SDN Klender 01 | Sumber: KOMPAS/AGUS SUSANTO 

Di sekolah tentu ada siswa yang kurang bersemangat dalam belajar. Bahkan, boleh jadi saat ini keadaan seperti itu ditemukan di hampir semua sekolah.

Sebab, sejak sistem zonasi diberlakukan tidak ada satu pun sekolah yang boleh menolak siswa, termasuk siswa yang tergolong malas belajar. Ini terjadi di sekolah-sekolah negeri.

Teman-teman guru di sekolah favorit yang dulu tidak pernah merasakan "harus penuh perjuangan" dalam mendampingi siswa, kini mulai merasakannya. Bahkan di antara teman guru tersebut ada yang berseloroh, "berat-berat!".

Seloroh tersebut muncul bukan tanpa sebab. Penyebabnya diketahui belakangan ternyata di sekolahnya ditemukan banyak siswa yang semangat belajarnya rendah, akibat sistem zonasi.

Tentu tidak hanya berat menghadapi siswa yang semangat belajarnya rendah, tetapi umumnya dilengkapi dengan tingkat kenakalan mereka juga. Sebab, lazimnya siswa yang malas belajar, juga nakal.

Dua tahun lebih adanya pandemi Covid-19 rupanya ikut membentuk kemalasan belajar siswa. Keadaannya semakin menjadi-jadi dan meluas.

Menganggap sepele hal tersebut jelas tidak baik. Sebab, dapat berpengaruh terhadap siswa lain. Karena pengaruh buruk umumnya lebih mudah menular daripada pengaruh baik.

Berdasarkan pengalaman, siswa yang teguh sikapnya mengenai belajar memang tidak mudah terpengaruh. Ia akan tetap semangat belajar sekalipun di sekitarnya ada beberapa siswa yang malas belajar. Ia mungkin hanya merasa terganggu.

Toh begitu tidak berarti kita bisa membiarkan. Semua siswa dalam kelas sebisa mungkin memiliki aktivitas belajar. Tujuan kepergian mereka dari rumah ke sekolah memang untuk belajar.

Orangtua pun sudah mengerti tujuan itu. Bahkan, mereka memiliki ekspektasi tinggi terhadap aktivitas anaknya di sekolah. Tidak lain untuk belajar. Menuntut ilmu pengetahuan setinggi-tingginya.

Orangtua sudah menyerahkan tanggung jawab seutuhnya mengenai anaknya kepada guru. Sekitar enam jam anak ada di sekolah. Sepanjang waktu itu guru (baca: sekolah) yang bertanggung jawab. Guru yang memfasilitasi anak untuk belajar.

Maka, sudah seharusnya guru dapat memfasilitasi semua anak (baca: siswa) bersemangat belajar. Semua terlibat dalam aktivitas belajar dengan suka cita. Tidak ada satu pun siswa yang ogah belajar. Ini tugas guru di sekolah.

Ogah atau enggan belajar dalam diri siswa dengan demikian menjadi tugas terpenting bagi guru. Guru harus mencari solusinya. Sehingga, tidak berlarut-larut mengganggu tumbuh kembang siswa.

Persiapan administrasi guru yang terbaik belum tentu dapat menyelesaikan problem siswa malas belajar. Pun demikian model pembelajaran termutakhir belum tentu menggugah semangat belajar siswa.

Bahkan, sering-sering guru yang terlalu fokus terhadap persiapan tersebut melupakan kondisi sebenarnya siswa yang malas belajar.

Karena mungkin guru (sudah) menganggap siswa tersebut sama dengan siswa yang lain. Ia dianggap sudah siap mengikuti pembelajaran seperti halnya siswa yang lain. Sehingga, guru langsung saja melakukan pembelajaran dengan model pembelajarannya yang termutakhir.

Ilustrasi siswa terlibat dalam sebuah projek. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi siswa terlibat dalam sebuah projek. (Dokumentasi pribadi)
Padahal, siswa yang malas belajar lebih banyak dilatarbelakangi oleh persoalan psikologis. Ini tidak cukup hanya diselesaikan dengan menyiapkan perangkat dan persiapan guru yang baik. Persiapan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan psikologis anak.

Memang tidak salah guru mempersiapkan perangkat yang terbaik dan persiapan guru dengan berbagai strategi dan model pembelajaran yang sesuai dengan konteks anak.

Hal tersebut memang harus bagi guru, bahkan sebagai tugas pokok. Tetapi, hal yang jauh lebih penting adalah menyiapkan mental anak untuk memasuki pembelajaran.

Barangkali jumlah siswa yang memiliki persoalan malas belajar tidak banyak. Di dalam satu kelas mungkin ada satu hingga tiga-empat anak dari jumlah keseluruhan siswa dalam kelas normal.

Tetapi, bukankah yang jumlahnya sedikit itu tidak penting untuk diperjuangkan? Sebab, memperjuangkan mereka benar-benar dapat siap belajar besar nilainya.

Itu sebabnya, agar anak benar-benar dapat terlibat dalam belajar harus dimulai dari peran hati. Hati guru yang dapat mengubah hati anak. Hal ini tidak cukup dikerjakan oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK), tetapi jauh lebih penting dikerjakan oleh guru yang terlibat banyak jam di kelas mendampingi siswa.

Karena, guru yang disebut terakhir itu yang sering bertemu dengan siswa yang dimaksud. Kalau sering bertemu, sementara pertemuan itu kurang "berisi" tentu saja sia-sia. Bagi guru, gagal melaksanakan profesi; bagi siswa, gagal mengikuti belajar.

Pertemuan berisi yang dimaksud dalam konteks ini memang bersyarat. Syaratnya adalah hati guru dan siswa bertemu. Maksudnya, siswa yang sedang memiliki masalah yang mengakibatkan malas (baca: tidak bersemangat) belajar harus terlebih dahulu diselesaikan oleh guru.

Siswa tidak akan menemukan pengalaman belajar bermakna kalau masalah yang membelenggunya tidak diselesaikan terlebih dahulu oleh guru. Sekalipun persiapan perangkat dan persiapan performa guru yang terbaik, tidak akan cukup memberi hasil. 

Mungkin hampir semua guru menemukan siswa yang membutuhkan empati. Tetapi, sudahkah kita, sebagai guru, memberikan empati kepada mereka? Saya masih harus terus belajar mengenai hal ini. Sebab, kadang saya sudah memberi materi sebelum memberi empati. Jelas kurang tepat, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun