Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi Memberi Sangu

30 November 2022   00:52 Diperbarui: 13 Desember 2022   02:45 3709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memberi uang kepada anak. (sumber: Pexels/ahsanjaya via kompas.com) 

"Sangu" merupakan istilah dalam bahasa Jawa, yang sudah dapat ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Istilah tersebut berkaitan dengan uang. Misalnya, uang yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya saat pergi ke sekolah.

Uang itu disebut sebagai "sangu". "Sangu" juga diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang sedang bepergian.

Demikian juga uang yang diberikan oleh kerabat yang sudah bekerja kepada kerabat lain yang belum bekerja, terutama kepada mereka yang masih kanak-kanak, sekolah, atau kuliah, itu pun disebut juga sebagai "sangu".

Jadi, "sangu" tidak hanya uang berasal dari orang tua untuk anaknya, tetapi bisa juga dari kerabat bahkan kenalan.

Ada orang yang memaknai "sangu" tidak hanya berupa uang. Sangu bisa berupa motivasi, makanan, minuman, benda, dan sejenisnya. Dengan demikian, sangu berfungsi sebagai bekal untuk memasuki sebuah proses.

Dengan sangu tersebut, pemberi sangu mengharapkan penerima sangu dapat memasuki proses dengan baik dan lancar. Bahkan, di dalam doanya (pemberi sangu), penerima sangu dapat meraih sukses.

Itu sebabnya, tidak jarang kita mendengar sebagian orang mengucapkan sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa, "daksanguni ilmu bae, ora banda". Artinya, Saya bekali  ilmu saja, tidak harta benda.

Sebagian besar orang berkeyakinan bahwa memberi bekal ilmu akan mendorong seseorang dapat bertahan hidup. Karena, dengan ilmu, seseorang bisa beradaptasi terhadap  situasi dan kondisi yang sedang terjadi.

Sementara itu, memberi bekal harta benda belum tentu mudah untuk dimanfaatkan bertahan hidup. Lebih-lebih kalau tidak dibarengi dengan berilmu pengetahuan. Tak menunggu waktu lama, harta benda tersebut bisa habis.

Kebiasaan yang berbeda

Kembali ke perihal sangu. Berkaitan dengan sangu yang berupa uang, masing-masing orang memiliki kebiasaan yang berbeda. Ada sebagian orang yang biasa memberi sangu kepada kerabat yang lebih muda, yang masih kuliah, sekolah, atau kanak-kanak, saat bertemu.

Akan tetapi, ada juga yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu. Tentu saja kelompok ini tidak bisa dikatakan memiliki  sikap "pelit" sebab di dalam lingkungannya tidak membiasakan budaya seperti itu.

Sejumlah keluarga besar yang tidak membiasakan tradisi memberi sangu dari kerabat yang sudah bekerja kepada kerabat yang masih kanak-kanak, sekolah, atau kuliah, bukan tanpa alasan.

Keluarga besar ini berpandangan bahwa memberi sangu dilakukan hanya pada momen tertentu, misalnya, saat hari besar keagamaan mereka. Sangu dalam konteks ini sering disebut angpau.

Memberi angpau dilakukan terhadap kerabat yang berdomisili dalam satu wilayah (jarak dekat) atau beda wilayah (jarak jauh) dalam momen seperti disebut di atas. Jadi, tidak setiap bertemu ada angpau.

Namun, saya juga memperoleh informasi dan mengetahui (sendiri) bahwa sesekali mereka memberi sangu kepada kerabat yang berdomisili di lain daerah saat bertemu sekalipun tidak dalam momen hari keagamaan. Hal tersebut dilakukan karena mereka sangat jarang dapat bertemu.

Sebaliknya, terhadap kerabat yang berdomisili dalam satu wilayah, mereka tidak memberi sangu lantaran sering bertemu.  Frekuensi pertemuan ternyata berpengaruh terhadap tindakan (seseorang) memberi sangu. Terhadap kerabat yang jarang bertemu, mereka memberi sangu saat bertemu di mana dan kapan pun.

Sementara itu, terhadap kerabat yang sering bertemu, mereka tidak  memberi sangu. Hal itu terjadi karena kerabat yang sering bertemu (akibat  berdomisili dekat) sangat mungkin sering menerima "sesuatu". Dan, sering menerima "sesuatu"  dapat dimaknai lebih daripada menerima  sangu.

Bagi penerima sangu, saat menerima sangu pasti senang. Apalagi mereka yang tergolong kanak-kanak, tingkat kesenangannya tentu sangat tinggi. Mereka yang sekolah pun senang karena ada tambahan uang jajan.

Tetapi, mungkin agak berbeda sikap, bagi mereka yang sudah kuliah, apalagi yang sudah semester-semester akhir.

Bisa jadi (agak) malu-malu menerima sangu. Lebih-lebih kalau yang memberi sangu kerabatnya yang sudah bekerja dengan (hanya) umur selisih sedikit lebih tua.

Barangkali karena berdampak terhadap kemunculan emosi dan sikap dalam diri penerima sangu (seperti disebut di atas), sebagian orang beranggapan bahwa memberi sangu tak selalu baik. Sebab, tindakan memberi sangu boleh jadi membuat anak (merasa) ketagihan, lebih-lebih bagi kanak-kanak.

Ia selalu berharap mendapat sangu kalau ada kerabat datang bertamu. Kalau belum diulurkan uang kepadanya, ia tetap menunggu.

Ekstremnya kalau dalam diri mereka mulai muncul perasaan  membeda-bedakan. Terhadap kerabat yang memberi sangu disebutnya "pemurah", tetapi terhadap kerabat yang tidak memberi sangu disebutnya "pelit".

Penyebutan tersebut sudah pasti tanpa melihat kondisi kerabat. Padahal, sangat mungkin masing-masing kerabat  memiliki kemampuan yang berbeda dan/atau pemaknaan "memberi sangu" yang berbeda pula.

Jika ada orang tua memiliki pemikiran seperti kanak-kanak yang disebut di atas, tentu amat parah. Dan,  celakanya, dari pengalaman sehari-hari ada sebagian orang tua yang memiliki pemikiran seperti itu.

Ya, semoga saja pemikiran tersebut tidak sampai terucap dan  terdengar oleh telinga anak-anak. Sebab, dampaknya  pasti buruk terhadap mereka. Muncul mindset pembedaan di dalam otak mereka terhadap kerabatnya.

Hal positif

Saya melihat ada hal positif di dalam tindakan memberi sangu yang dilakukan oleh kerabat yang sudah bekerja kepada kerabat yang belum bekerja, yaitu mereka yang masih kanak-kanak, sekolah, dan kuliah pada momen-momen tertentu. Karena ternyata tindakan itu dapat menjaga ikatan kekeluargaan secara turun-temurun.

Riilnya, ketika seorang om atau tante memberi sangu kepada keponakan (pada momen-momen tertentu), akan sangat membentuk sikap positif dalam diri keponakannya. 

Sikap positif itu adalah ketika keponakan itu sudah bekerja sangat mungkin melakukan hal serupa om atau tante, yaitu memberi sangu kepada anak om atau tante.

Pun demikian saat anak om atau tante sudah bekerja, ia akan memberi sangu kepada anak keponakan (om atau tante). Ini prinsip keteladanan yang turun-temurun. Menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Selain memiliki potensi menjaga ikatan kekeluargaan secara turun-temurun, tindakan memberi sangu juga mengedukasi generasi penerus mengenai berbagi, setidaknya berbagi  kepada kerabat.

Dan, bukan mustahil sikap mau berbagi tersebut akhirnya  tertanam di dalam diri anak. Yang, terus terpelihara sampai dewasa. Ini sikap penting yang harus ada dalam hidup bermasyarakat.

Pola hubungan tertentu

Sikap mau berbagi yang terjaga sampai dewasa umumnya sering kita temukan dalam hubungan anak terhadap orang tua. 

Anak yang sudah bekerja dan/atau berumah tangga ada yang secara rutin mengirim atau memberi uang kepada orang tua. Anak melakukan perbuatan ini sebagai bentuk membalas kebaikan orang tua.

Anak merasa peran orang tua sangat besar sejak dirinya kecil hingga ia menjadi sosok yang "berhasil" atau sudah dapat bekerja. 

Ia dalam keberadaan yang seperti dialaminya karena orang tua telah berusaha, berjuang untuk dirinya. Orang tua sudah melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak.

Maka, sering kita temukan pengalaman yang mengharukan ketika anak sudah "berhasil", tetapi orang tua sudah tiada. 

Dalam keadaan seperti itu, anak sering mengungkapkan perasaan sedihnya. "Sedih saya karena belum menyenangkan orang tua, beliau sudah meninggal". Ia merasa belum dapat membalas budi (baik) orang tua.

Memang bentuk balas budi anak terhadap orang tua seperti disebut di atas tidak tepat (kalau) disebut memberi sangu. Lebih tepatnya disebut sebagai bentuk "perhatian".

Sebab, sangu umumnya diberikan kepada orang yang belum berpenghasilan atau bekerja. Sementara orang tua sudah bekerja atau bahkan sudah melewati masa bekerja alias pensiun. 

Memang ada orang tua yang mendapat pensiunan setelah masa pensiun. Tapi, ada juga yang tidak mendapat pensiunan.

Sekalipun terhadap orang tua yang tidak mendapat pensiunan, anak tidak menganggap bahwa uang yang dikirim atau diberikan adalah sebagai "sangu".  

Sangu pada akhirnya hanya dapat dikaitkan dengan adanya pola hubungan orang tua-anak; kakak-adik; tua-muda; besar-kecil; bekerja-belum bekerja dan tidak bisa dikenakan terhadap pola hubungan yang sebaliknya.

Maka, ketika seorang cucu (yang sudah bekerja) berkunjung ke rumah nenek-kakeknya dan memberi uang kepada mereka, kurang tepatlah disebut sebagai memberi sangu. 

Sekalipun, misalnya, setiap ada momen hari keagamaan melakukan hal yang sama, yaitu memberi uang. Hal itu pun tidak bisa dikatakan sebagai memberi sangu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun