Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[BOLANG Donasi] Belajar Dua Sikap Positif Darinya, Niscaya Hidup Lebih Nyaman

22 April 2022   07:58 Diperbarui: 22 April 2022   08:01 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepatu yang solnya sudah rusak untuk bersekolah. (Sumber: www.istockphoto.com)

Kemudian, hal lain yang berhubungan dengan kepercayaan dirinya yang begitu kuat adalah sikap "menerima apa adanya". Sepatu dengan sol yang sudah jebol tetap dikenakannya untuk bersekolah.  Saya rasa, ia mengenakannya tidak dengan bersungut-sungut.

Buktinya, ia masih memiliki semangat bersekolah, tidak minder;  ketika kami memanggilnya, ia merespon secara sigap; ketika kami bertanya, ia menjawab dengan tegas dan apa adanya. Tentu tidak bersikap seperti itu kalau saat mengenakan sepatu hatinya bersungut-sungut alias jengkel dan menolak keadaan.

Saya menjumpai beberapa siswa kami yang  kurang bisa menerima keadaan. Dampaknya sangat kelihatan. Misalnya, mereka pamit kepada orangtua pergi sekolah, tetapi tidak sampai di sekolah; mereka sering berulah di sekolah sehingga sering berurusan dengan guru. Ya, tidak seperti tokoh kita, siswa kami yang satu ini, yang memang berbeda.

Karenanya, barangkali tidak ada salahnya kalau kita mau bercermin terhadapnya, belajar darinya tentang bagaimana kepercayaan diri tetap terjaga dan bisa menerima apa adanya sekalipun dalam kondisi yang begitu kurang. Jika ini yang menjadi pilihan saya dan Anda, bukan mustahil kita merasa nyaman menjalani hidup.

Mungkin senyaman benak dan pikiran siswa kami itu, yang tetap percaya diri dan enjoy berangkat sekolah dan mengikuti ujian meskipun mengenakan sepatu yang solnya nyaris lepas.

Belajar dari siswa kami itu, saya pikir  relevan juga dengan konteks menyongsong tradisi lebaran tahun ini. Lebaran yang suci tentunya harus diwujudkan dalam hati, pikiran, dan perilaku yang suci pula. Di antaranya tidak memburu memenuhi  keinginan. Misalnya, keinginan memiliki kemeja, gamis, kaftan, sandal, motor, atau mobil baru.

Jelas kurang tepat juga kalau lebaran tahun ini dijadikan momen untuk "menebus" dua lebaran terdahulu yang tidak bisa dirayakan gegara pandemi secara "besar-besaran". Barangkali lebih sejuk kalau  lebaran tahun ini diwarnai dengan hati, pikiran, dan perilaku yang sederhana, sesuai kemampuan.

Kalau tidak ada yang baru, yang lama pun boleh juga. Selama masih layak digunakan, kenapa tidak? Baju dan celana baru, tetapi sandal lama tidak menjadi masalah. Tidak harus semuanya serba anyar. Memenuhi keinginan semua serba anyar belum tentu membuat hati dan pikiran nyaman pada saat lebaran.

Bukankah sebentar lagi anak-anak mendaftar sekolah atau kuliah, yang boleh jadi membutuhkan biaya yang tidak sedikit? Jadi, bisa berbagi, baik untuk kebutuhan --bukan keinginan-- lebaran maupun untuk pendidikan anak-anak tentu membuat hati dan pikiran lebih nyaman.

[Tentu saja bagi Anda yang memiliki rezeki lebih, memenuhi kebutuhan lebaran semua serba anyar tidak menjadi problem. Sah-sah saja. Hanya, semua itu bermakna kalau tidak digunakan untuk menunjukkan perbedaan terhadap yang lain.]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun