Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gemblong, Lompong, dan Rebung, Semangat Desa yang Menjawab Kerinduan Urban

27 Februari 2022   13:30 Diperbarui: 28 Februari 2022   10:50 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain dibutuhkan saat orang sedang hajatan dan momen sedekah bumi, beras ketan dibutuhkan saat seminggu setelah Lebaran. Sebab, pada waktu tersebut, masyarakat biasanya membuat lepat, selain kupat. Lepat, atau yang biasa masyarakat menyebutnya "lepet" berbahan dasar beras ketan.

Jadi, lepat dibuat setahun sekali. Seperti halnya gemblong, saat sedekah bumi. Hanya, gemblong dibuat juga ketika ada orang melakukan hajatan. Lebih-lebih hajatan pernikahan. Karena saat lamaran, gemblong sepertinya menjadi penganan wajib.

Gemblong yang salah satu cirinya lengket, dimaknai sebagai membangun ikatan yang lengket tak hanya bagi calon pengantin, tapi juga melengketkan dua keluarga. Pemaknaan itu yang sering saya dengarkan dari orang-orang mengenai keberadaan gemblong selalu ada dalam pinangan di daerah kami.

Semangat desa

Sekalipun akhirnya gemblong dikenal juga oleh masyarakat kota karena berkaitan dengan budaya orang hajatan, tapi keberadaannya tak dapat dilepaskan dari napas desa. Sebab, beras ketan, seperti halnya lompong dan rebung hasil kerja orang desa. Tanpa kerja keras dan semangat orang desa, khususnya para petani, tak mungkin ketiganya bisa kita nikmati.

Sejatinya, kita dapat merenungkan bahwa di dalam gemblong, lompong, dan rebung tercermin nilai semangat desa. Nilai semangat desa itu terus dihidupi oleh mereka melalui bekerja di sawah, ladang, atau di pekarangan dengan semangat. Hujan dan terik mentari seakan merestui mereka.

Tak hanya itu, semangat tersebut dihidupi pula secara bersama. misalnya, kebersamaan dalam menata sistem irigasi untuk tetap dapat membasahi tanah pertanian. Rentang waktu tertentu untuk pengairan padi petani "A", rentang waktu yang lain untuk pengairan padi petani "B", dan begitu seterusnya bergantian.

Mendengarkan cerita orang-orang, sepertinya tak ada sikap sewenang-wenang di antara mereka. Mereka berbagi sesuai dengan kebutuhan masing-masing untuk kelangsungan hidup tanaman.

Saat terik kemarau, seberapa pun air yang tersedia, tetap dibagi sesuai situasi dan kondisi. Atau, mencari sumber air dengan cara lain. Menghidupi tanaman, betapa pun keadaannya, merupakan buah kerja dan berbagi semangat bersama.

Bersyukur karena realitas itu hingga kini tetap dipertahankan oleh generasi tua. Sayang, tak mudah bagi mereka mengajari generasi muda (baca: anak-anaknya). Sebab, sebagian besar generasi muda telah memiliki pilihan berbeda. Hanya sebagian kecil generasi muda yang mau bergelut dengan tanah untuk bertahan hidup dengan bercocok tanam.

Tapi, mereka tak hanya bertani. Mereka menyeimbangkan dengan kesibukan lain, yang juga memberi hasil. Ada yang memelihara sapi, mengembangbiakkan jangkrik, burung, lebah, membuat criping singkong, criping pisang, dan lain-lain. Bahkan, ada yang menjadi pegawai. Bertani dan kesibukan lain dijalankan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun