Sejauh saya mengetahui, di daerah tempat saya tinggal, kini tak pernah terlihat ada pengemis (dan pengamen) di area pusat kota. Pusat kota lazimnya adalah area yang menjadi pusat pemerintahan.
Kalau wilayah kabupaten atau kota berarti area yang dimaksud adalah area kantor bupati atau wali kota dan sekitarnya, yang umumnya dekat juga dengan alun-alun kabupaten atau kota.
Kalau wilayah provinsi berarti area yang dimaksud adalah area kantor gubernur dan sekitarnya. Galibnya, dekat juga dengan alun-alun provinsi. Kalau wilayah pusat, ya tentu saja area istana negara dan sekitarnya.
Istilah alun-alun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah tanah lapang yang luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati, dan sebagainya.
Tak terlihat adanya pengemis (dan pengamen) Â di area alun-alun memang mengesankan bahwa area pusat pemerintahan bersih, tak terlihat kumuh, dan tak semrawut. Pemandangan seperti itu di pusat kota merupakan pemandangan yang didamba.
Dulu, area alun-alun menjadi tempat pengemis (dan pengamen) "berkarya". Sebab, alun-alun umumnya tersambung dengan banyak jalur. Sehingga, ada alun-alun yang diberi nama Simpang Lima karena ada lima jalur yang bermuara di alun-alun. Ada juga  Simpang Enam, Simpang Tujuh, dan simpang-simpang yang lain.
Dan, kadang di setiap muara jalur di alun-alun dipasang traffic light. Di area traffic light itulah yang biasa  dijadikan lokasi para pengemis (dan pengamen) menarik perhatian pengendara saat berhenti karena lampu menyala merah.
Benar, dulu setiap lampu merah menyala di traffic light alun-alun, pengemis (dan pengamen) selalu mendekat ke pengendara, baik pengendara motor maupun mobil. Pengemis mengiba-iba dan pengamen beraksi di sela-sela pengendara dengan musik dan suara yang diupayakan mengalahkan deru mesin.
Mereka, ada yang masih kanak-kanak, remaja, dan ada juga yang dewasa, bahkan lanjut usia (lansia). Entah mereka itu memiliki hubungan kerabat atau tidak, saya tak mengerti. Tapi, mereka terlihat begitu akrab. Satu dengan yang lain seperti saudara.
Kalau kini, bahkan sepertinya sudah satu dekade terakhir ini, pengemis (dan pengamen) tak kelihatan di lokasi traffic light alun-alun bukan tanpa sebab. Boleh jadi hal tersebut disebabkan oleh mereka (baca: pengemis dan pengamen) sudah diberi tahu oleh pihak yang berwenang tak boleh mengemis dan mengamen di area sentral tersebut.
Ya begitu, seperti di awal catatan ini sudah disinggung, agar area di pusat pemerintahan terlihat cantik, tak kumuh, dan tak semrawut. Sebab, siapa pun merasa malu kalau lokasi-lokasi yang menjadi perhatian publik, terlihat kumuh dan semrawut.
Apalagi otoritas setempat. Pasti malu banget. Saya saja ikut merasa malu sekalipun hanya sebagai warga biasa. Saya rasa Anda juga begitu, bukan, kalau fenomena itu terjadi di daerah Anda?
Jujur ya, sekalipun di traffic light di area sentral tak ada pengemis (dan pengamen), tapi di traffic light di area yang jauh dari pusat kota banyak pengemis (dan pengamen). Bahkan, sepertinya, dari waktu ke waktu semakin banyak.
Sebetulnya lokasi tersebut tak jauh-jauh dari pusat kota, sih. Mungkin hanya berjarak satu kilometer. Jarak sedekat itu, masih ada banyak pengemis (dan pengamen) yang sepertinya bebas "berkarya". Wajar saja, kalau kemudian saya tergelitik mengenai hal ini.
Kok bisa ya? Di traffic light alun-alun tak ada mereka, tapi di traffic light yang hanya berjarak satu kilometer dari alun-alun mereka leluasa "berkarya". Mungkinkah itu karena kebaikan hati pihak yang berwenang? Supaya saudara-saudara pengemis (dan pengamen) tetap bisa bertahan hidup.
Ya, mungkin saja. Sebab, mencari pekerjaan tak mudah. Apalagi sejak masa pandemi Covid-19 merebak. Banyak orang malah tak lagi bisa bekerja karena produksi usaha dikurangi. Mau tak mau, pemilik usaha mengurangi pekerjanya agar usahanya tak kolaps.
Tapi, terus terang ya, kalau realitas tersebut terus dibiarkan akan membuat problem sosial semakin rumit. Sulit diselesaikan. Jadi, perlu ada penanganan khusus yang segera dilakukan agar realitas tersebut tak semakin membeludak.
Anda bisa menghitung sendiri, jumlah pengemis (dan pengamen) di daerah Anda. Semakin bertambahkah? Atau, tetap? Atau, semakin berkurang? Di daerah saya, yang termasuk kota kecil saja, wilayah kabupaten, jumlah pengemis (dan pengamen) bertambah.
Saya memang belum pernah menghitung secara rinci. Apalagi melakukan riset. Belum, belum pernah. Tapi, melihatnya hampir setiap hari, saya memastikan bahwa jumlah pengemis (dan pengamen) di daerah saya, bertambah. Hampir di setiap traffic light, yang berada di persimpangan jalan di luar area alun-alun, mereka selalu ada.
Mengemis
Ada sebagian yang memang "berprofesi" mengemis. Dalam KBBI, yang dimaksud mengemis adalah meminta-minta sedekah; meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan.
Kelompok ini tak membutuhkan banyak cara, kok. Mereka hanya mendekati sasaran dan langsung meminta. Menengadahkan tangannya sembari berucap minta belas kasihan.
Kadang, kalau sasarannya pengendara mobil, mereka mengetuk-ketuk kaca mobil agar orang dalam mobil memperhatikannya dan memberikan uang. Ada yang memberi, ada juga yang tidak. Itu realitas yang wajar.
Pengemis jenis ini dapat dilakukan oleh siapa pun.  Bisa saja kanak-kanak, remaja, pemuda, atau orang dewasa. Umumnya dilakukan secara singgel. Juga tanpa menggunakan sarana apa pun, ya, pokoknya meminta begitu saja. Mereka beroperasi di lokasi  traffic light.
Tapi, untuk menimbulkan rasa iba terhadap sasaran, ada yang dibikin dramatis. Misalnya, sengaja menggendong bayi atau anak cacat; menuntun orang buta. Dengan cara begitu, mereka berharap sasaran menjadi lebih iba, lebih kasihan sehingga mau memberi uang.
Dulu pernah ada pengemis yang bahkan berpura-pura cacat, sakit parah, dan cedera. Semua dibuat dengan kostum yang memilukan. Ya, satu tujuannya, yaitu agar orang yang melihat menjadi iba dan berbelas kasih. Sekarang, saya tak pernah melihat lagi cara seperti itu di daerah saya. Di daerah Anda?
Ada kelompok yang agak berbeda, sekalipun sebenarnya sama-sama mengemis. Di daerah saya termasuk baru, walaupun di kota-kota besar sudah ada sejak lama. Yaitu, manusia silver. Mereka sengaja mewarnai tubuhnya dengan cat.
Awalnya, saya melihat manusia silver melumuri tubuhnya, hanya tersisa di bagian bercelana. Jadi, sebagian besar tubuh berwarna silver.
Tapi, pada waktu lain, ada yang berkaus dan bercelana, jadi bagian yang berwarna silver hanya sedikit. Sejauh saya mengetahui, manusia silver laki-laki.
Mereka beraksi di area traffic light. Menarik perhatian setiap pengendara yang berhenti karena lampu menyala merah. Berharap ada yang berbelas kasih. Jadi, manusia silver juga mengemis, tapi dengan kemasan tubuh yang berbeda.
Ada kelompok yang berbeda lagi. Cuma kelompok ini, termasuk pengemis atau pengamen, ya? Yang pasti, di daerah saya, ini tren. Mereka memakai kostum badut. Tubuhnya terbungkus kostum dan bertopeng sehingga tak bisa ditandai, siapa di balik kostum itu. Tapi, tetap bisa ditandai bahwa mereka  laki-laki atau wanita.
Kostumnya lucu. Topengnya ada yang lucu, tapi ada juga yang menakutkan. Kostum yang berwarna cerah dengan topeng yang berwarna senada sangat menarik perhatian pengendara. Untuk menambah daya tarik, mereka berjoget dengan iringan musik dan lagu di perangkat audio yang digendong.
Mereka selalu "berdemontrasi" di lokasi traffic light. Berjoget di sela-sela pengendara. Begitu lampu menyala hijau dan pengendara meninggalkan lokasi itu, mereka menepi. Atau, menuju ke jalur arah lain, yang lampunya menyala merah. Dan, "berdemontrasi" lagi, mengharap belas kasih pengendara.
Mengamen
Selain mengemis, sebagian orang yang menjalankan "profesi" di jalan, kita menyebutnya  mengamen. Dalam KBBI, yang disebut mengamen adalah berkeliling (menyanyi, bermain musik, dan sebagainya) untuk mencari uang.
Kini, mengamen berkeliling dari rumah ke rumah sudah sangat jarang. Berbeda dengan masa-masa dulu, yang hampir setiap hari ada pengamen. Bahkan, sehari bisa dua-tiga kali pengamen mengunjungi rumah.
Boleh jadi rumah yang sering tutup karena pemilik rumah pergi bekerja sebagai penyebab pengamen jarang berkeliling kampung. Atau, pemilik rumah ada di rumah, tapi karena pintu  ditutup dan rumah berpagar, pengamen tak memiliki akses masuk ke halaman untuk mengamen. Jadinya, mengamen di kampung "kering".
Akhirnya, aktivitas mengamen menumpah di jalan. Menyasar pengguna jalan. Maka, area traffic light menjadi pilihan yang tepat sebab di sana pengendara ada waktu harus berhenti.
Saya melihat, ada yang mengamen dengan cara ala kadarnya. Mereka sendirian membawa musik buatan sendiri, dari tutup botol yang dirangkai. Ketika digerak-gerakkan menimbulkan bunyi, ritmis, tak bernada. Tapi, dapat digunakan untuk mengiringi dirinya menyanyi karena bisa digetar-getarkan untuk menciptakan irama.
Itu terjadi, mungkin awalnya tak nyaman kalau hanya meminta seperti pengemis. Akhirnya, menyanyi dengan iringan musik-musikan seperti itu.
Dan, mungkin dirasa cara itu lebih sedikit mengangkat martabat, karena menjadi pengamen. Ada sesuatu yang bisa "ditawarkan" kepada calon pemberi uang, akhirnya tak lagi jadi pengemis.
Pengamen yang demikian umumnya masih kanak-kanak. Pengamen kanak-kanak, sepengetahuan saya, diantar oleh orangtuanya, mungkin ibunya, mungkin bapaknya. Tapi, mereka berada di luar lokasi mengamen. Mereka mengawasi dari jauh. Melihat yang begini, saya jengkel banget!
Orangtua kok begitu tega memanfaatkan anaknya untuk mendapatkan uang. Payah! Orangtua demikian merusak martabat anak. Anak yang mestinya dididik dengan benar, malah dibina menjadi pengamen, bahkan lebih ke arah menjadi pengemis.
Selanjutnya, ada juga pengamen yang membawa perangkat audio. Dari perangkat audio tersebut diputar lagu-lagu, yang dijadikan latar pengamen bersangkutan untuk berjoget di antara pengendara yang berhenti di traffic light.
Maksudnya, tentu agar pengendara terhibur dan selanjutnya mengeluarkan uang untuk diberikan kepadanya. Pengamen yang demikian bermodal dulu karena harus membeli perangkat audio.
Dulu ada yang karaokean juga dengan perangkat audio itu. Sembari mendekati  sasaran, pengamen menyanyi dengan iringan musik yang diputar lewat perangkat tersebut.
Kini, gaya begitu sepertinya sudah tak ada. Entah ke mana, ya? Atau, sudah salin rupa. Hanya berjoget dengan memutar lagu dari perangkat tersebut, tanpa karaokean.
Ada juga pengamen yang menggunakan kostum badut dan bertopeng, yang berjoget dengan iringan lagu dari perangkat audio, yang kini sedang ngetren di daerah saya. Cara tersebut boleh jadi merupakan pengembangan lebih lanjut dari mengamen yang berjoget dengan iringan lagu yang diputar dari perangkat audio. Kalau perkiraan saya itu benar, mereka termasuk kreatif ya. Ckckckck!
Sepertinya, perkiraan saya itu benar. Sebab, pengamen anak-anak tetap bertahan memanfaatkan perangkat audio untuk menarik perhatian pemberi belas kasih; sementara, pengamen orang dewasa melengkapinya dengan kostum badut dan topeng.
Bukankah kostum badut biasanya digunakan oleh orang dewasa untuk mbadut dalam acara-acara ulang tahun atau peresmian sesuatu? Sepertinya,  saya belum pernah  melihat ada kostum badut yang dikenakan oleh anak-anak, apalagi kanak-kanak.
Sebab, badut biasanya ditanggap saat ulang tahun anak-anak. Jadi, yang mbadut dalam ulang tahun  tersebut tentulah orang dewasa, bukan anak-anak. Â
Itu sebabnya, saya menyebut pengamen orang dewasa kreatif, karena memanfaatkan seragam badut (ulang tahun) untuk mengamen. Mereka sudah belajar strategi pemasaran, sepertinya. Hehehe.
Selain ada yang mengamen menggunakan gitar, dan yang biasanya dilengkapi dengan ketipung, yang kini lagi ngetren juga di daerah saya adalah mengamen model grup. Mengamen yang jenis ini, di kota-kota besar sudah ada sejak lama.
Pengamen (kru pemain musik) berada di tempat tertentu di tepian persimpangan jalan traffic light memainkan musik. Sementara itu, kru yang lain mengedarkan kotak ke pengendara yang berhenti karena lampu merah.
Musik yang digunakan, sejauh yang saya tahu  adalah kulintang, simbal, snare, dan drum. Perpaduan alat-alat musik itu menarik perhatian pengendara. Lagu-lagu yang dibawakan melalui permainan alat musik tersebut adalah lagu-lagu yang sudah populer.
Pengamen memainkannya pada saat lampu merah. Begitu lampu hijau, mereka mengakhiri performance. Mereka kembali lagi mempertunjukkan permainan musik, saat lampu merah menyala dan berhenti saat lampu hijau menyala. Begitu seterusnya.
Mereka biasa tampil dari pagi, saat ramai pengendara, hingga siang. Pengamen yang ini kadang juga melibatkan anak-anak.
Memartabatkan mereka
Betapa pun, mereka, lebih-lebih pengemis, perlu mendapatkan perhatian lebih serius. Problem mereka tak akan selesai sekalipun kita memberi secara rutin.
Justru dengan memberi secara rutin, mereka akan terus tergantung dan tak mau berusaha. Kalau mengemis saja terus ada penghasilan, buat apa mencari yang susah-susah. Bisa jadi lho, prinsip itu digunakan bahkan ditanamkan pada diri keluarga, termasuk pada diri anak-anak mereka.
Ketika mereka dapat menjauhi area alun-alun, pusat pemerintahan, entah setelah ada teguran dari pihak berwenang atau mereka takut tertangkap, saya berpikir, mereka memahami dan menyadari kok bahwa area alun-alun "harus bersih" alias tak kumuh.
Artinya, mereka orang-orang yang bisa diajak bicara. Mereka memiliki rasa khawatir dan takut juga. Mereka bisa diberi tahu dan saya rasa mereka bisa dibina. Tapi, dibina secara serius, lho.
Dinas sosial dan dinas terkait tentu sudah melakukannya dengan program yang terbaik. Tapi, persoalannya, apakah program tersebut bisa berlangsung secara berkelanjutan sampai mereka dapat beralih "profesi" yang lebih bermartabat. Di sinilah yang saya maksudkan bahwa pengemis  "perlu mendapatkan perhatian lebih serius".
Pemerintah (daerah) dapat saja bekerja sama dengan  lembaga-lembaga swasta, perusahaan, perguruan tinggi (PT), dan sejenisnya yang berada di daerah setempat. Sebab, lembaga swasta, perusahaan, PT, dan sejenisnya dapat berkembang dan besar karena ada peran daerah. Maka, wajarlah kalau mereka dilibatkan juga dalam memikirkan problem yang dihadapi daerah, di antaranya pengemis.
Saya sering mendengar pembicaraan mengenai adanya pengemis yang dibina agar bisa bekerja, tapi kenyataannya malah kembali menjalani "profesi" lamanya, yaitu mengemis. Hal ini dikatakan oleh beberapa pakar karena adanya mentalitas yang buruk.
Itu sebabnya, anak-anak mereka (baca: pengemis) yang masih memiliki waktu panjang menjalani kehidupan harus "dilepaskan" dari didikan lingkungan yang bermental  buruk tersebut. Logika sederhananya, kalau memartabatkan generasi tua mengalami kesulitan, ya memartabatkan generasi mudanya saja.
Dinas sosial dan dinas terkait, yang bekerja sama dengan lembaga swasta, perusahaan, serta PT pasti memiliki kemampuan yang besar untuk memperjuangkan anak-anak dari lingkungan bermental buruk tersebut. Yaitu, mendampingi, membina, dan mendidik anak-anak agar mereka tak melanjutkan tradisi buruk orangtuanya.
Tindakan yang sama dapat diberlakukan juga terhadap pengamen. Sebab, ada juga pengamen yang sebetulnya berlatar belakang dari pengemis. Seperti yang sudah saya tulis di bagian lain catatan ini, awalnya pengemis lalu menjadi pengamen sekalipun ala kadarnya, karena memang ia tak memiliki keterampilan untuk mengamen.
Mereka yang memanfaatkan tutup botol, sekadar tepuk tangan, serta gitar, ukulele, dan sejenisnya yang dimainkan tanpa aturan, mungkin dapat digolongkan pengamen yang berlatar belakang pengemis.
Saya memang pernah melihat adanya fenomena tersebut. Pada waktu tertentu, ia mengemis. Tapi, pada waktu yang lain, ia mengamen malah yang saya lihat waktu itu ia hanya tepuk tangan dan menyanyi. Anda pernah melihat hal yang serupa atau setidaknya mirip dengan fenomena itu?
Ya, begitulah. Ada pengamen yang awalnya pengemis. Mereka bukan pengamen yang sesungguhnya. Mungkin saja ketika menyadari  bahwa pengamen lebih baik dari segi hasil atau segi lainnya, ia lantas alih rupa menjadi pengamen. Hehehe.
Namun, untuk pengamen yang pertunjukannya boleh dibilang "profesional" diperlukan pendekatan yang berbeda. Yang jelas, mereka tak dibiarkan. Dasar musik dan/atau menyanyi yang sudah bagus perlu diperdalam dengan bantuan  orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Sehingga, performance mereka semakin baik.
Tak hanya kompetensi mereka yang diperdalam, tapi belajar mengenai cara pengemasan  pertunjukan yang lebih baik. Bahkan, penting juga diajari strategi pemasaran, kepribadian, komunikasi di depan publik,  dan hal lain yang dibutuhkan.
Sehingga, mereka tak sebatas menjadi pengamen jalanan, tapi menjadi kontributor seni yang berguna bagi sesama dan lebih daripada itu berguna bagi kehidupannya ke depan lebih baik.
Oleh karena itu, pemerintah setempat perlu merangkul banyak pihak untuk melakukannya. Karena pemerintah tak mungkin mampu sendirian dalam melakukan ikhtiar mulia itu demi martabat warganya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI