Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memartabatkan Pengemis (dan Pengamen), Bagaimana Mewujudkannya?

22 Februari 2022   15:50 Diperbarui: 23 Februari 2022   05:15 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: dokumentasi pribadi)

Pemerintah (daerah) dapat saja bekerja sama dengan  lembaga-lembaga swasta, perusahaan, perguruan tinggi (PT), dan sejenisnya yang berada di daerah setempat. Sebab, lembaga swasta, perusahaan, PT, dan sejenisnya dapat berkembang dan besar karena ada peran daerah. Maka, wajarlah kalau mereka dilibatkan juga dalam memikirkan problem yang dihadapi daerah, di antaranya pengemis.

Saya sering mendengar pembicaraan mengenai adanya pengemis yang dibina agar bisa bekerja, tapi kenyataannya malah kembali menjalani "profesi" lamanya, yaitu mengemis. Hal ini dikatakan oleh beberapa pakar karena adanya mentalitas yang buruk.

Itu sebabnya, anak-anak mereka (baca: pengemis) yang masih memiliki waktu panjang menjalani kehidupan harus "dilepaskan" dari didikan lingkungan yang bermental  buruk tersebut. Logika sederhananya, kalau memartabatkan generasi tua mengalami kesulitan, ya memartabatkan generasi mudanya saja.

Dinas sosial dan dinas terkait, yang bekerja sama dengan lembaga swasta, perusahaan, serta PT pasti memiliki kemampuan yang besar untuk memperjuangkan anak-anak dari lingkungan bermental buruk tersebut. Yaitu, mendampingi, membina, dan mendidik anak-anak agar mereka tak melanjutkan tradisi buruk orangtuanya.

Tindakan yang sama dapat diberlakukan juga terhadap pengamen. Sebab, ada juga pengamen yang sebetulnya berlatar belakang dari pengemis. Seperti yang sudah saya tulis di bagian lain catatan ini, awalnya pengemis lalu menjadi pengamen sekalipun ala kadarnya, karena memang ia tak memiliki keterampilan untuk mengamen.

Mereka yang memanfaatkan tutup botol, sekadar tepuk tangan, serta gitar, ukulele, dan sejenisnya yang dimainkan tanpa aturan, mungkin dapat digolongkan pengamen yang berlatar belakang pengemis.

Saya memang pernah melihat adanya fenomena tersebut. Pada waktu tertentu, ia mengemis. Tapi, pada waktu yang lain, ia mengamen malah yang saya lihat waktu itu ia hanya tepuk tangan dan menyanyi. Anda pernah melihat hal yang serupa atau setidaknya mirip dengan fenomena itu?

Ya, begitulah. Ada pengamen yang awalnya pengemis. Mereka bukan pengamen yang sesungguhnya. Mungkin saja ketika menyadari  bahwa pengamen lebih baik dari segi hasil atau segi lainnya, ia lantas alih rupa menjadi pengamen. Hehehe.

Namun, untuk pengamen yang pertunjukannya boleh dibilang "profesional" diperlukan pendekatan yang berbeda. Yang jelas, mereka tak dibiarkan. Dasar musik dan/atau menyanyi yang sudah bagus perlu diperdalam dengan bantuan  orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Sehingga, performance mereka semakin baik.

Tak hanya kompetensi mereka yang diperdalam, tapi belajar mengenai cara pengemasan  pertunjukan yang lebih baik. Bahkan, penting juga diajari strategi pemasaran, kepribadian, komunikasi di depan publik,  dan hal lain yang dibutuhkan.

Sehingga, mereka tak sebatas menjadi pengamen jalanan, tapi menjadi kontributor seni yang berguna bagi sesama dan lebih daripada itu berguna bagi kehidupannya ke depan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun