Ia mengizinkan si sulung turut melakukan panggilan kemanusiaan di Lombok. Walaupun, sekali lagi saya sebutkan, ketika itu masih sering diberitakan adanya gempa susulan.
Perubahan cara pandang istri saya dalam konteks itu tak serta merta. Ada proses dialog dengan saya, juga dengan si sulung.
Yang namanya dialog tentu ada pro dan kontra. Tapi, dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal, akhirnya didapatkan keputusan yang "terbaik" untuk mendukung "semangat" si sulung.
Pada titik ini, saya dan istri pun akhirnya menjadi rela (wan) dalam peran yang berbeda dengan peran si sulung. Sebab, si sulung akhirnya berangkat ke Lombok bersama satu tim relawan dari kampusnya. Sementara itu, kami rela (wan) yang tetap berada di rumah dengan segala kemampuan untuk mendukung panggilan kemanusiaan baginya.
Sekalipun kami tak berkomunikasi dengan orangtua teman-teman satu tim relawan si sulung, kami berpikir, mereka pasti sepikiran dengan kami. Mereka dengan berbagai pertimbangan akhirnya merelakan anak-anaknya menjadi relawan.
Jadi, mereka menjadi rela (wan) yang keberadaannya tak boleh diabaikan. Sebab, teman-teman si sulung dapat ambil peran dalam tim relawan Lombok kala itu atas izin orangtua mereka. Anak jadi relawan, orangtua juga harus rela (wan).
Dan memang, secara formal ada surat izin dari kampus yang harus kami (orangtua) tanda tangani. Tanpa tanda tangan kami, kampus tak memiliki keberanian menugaskan anak-anak kami ke Lombok untuk berbagi kegembiraan, semangat, dan optimisme kepada sesama yang terdampak gempa.
Sekalipun tak berada langsung di area pengungsian korban bencana seperti anak-anak kami (baca: tim relawan), kami terus menjaga kenyamanan hati agar tetap stabil. Sebab, hanya dengan melihat dan mendengar berita lewat media mengenai kondisi sesungguhnya kala itu, sering-sering ada "guncangan" yang mengganggu karena bayangan-bayangan yang tak pasti di otak dan benak kami.
Yang, boleh jadi (sangat) berbeda dengan kondisi yang dialami tim relawan. Karena mereka berada langsung di tempat kejadian, mengetahui secara pasti, dan tanpa membayang-bayangkan seperti kami. Sehingga, sepertinya mereka nyaman saja mendampingi para korban yang membutuhkan pertolongan.
Beberapa kali, dalam waktu tertentu, kami memang menjalin komunikasi lewat video call dengan si sulung dan teman-temannya, sekadar untuk mengetahui keadaan mereka. Dan, syukurlah mereka terlihat menikmati tugas sebagai relawan.