Padahal, sejatinya tidak. Biasa-biasa saja. Apalagi adanya sebagian lauk bersifat mendadak. Saya tak akan membeli lauk tambahan itu kalau masakan istri saya mencukupi.
Ya, akhirnya kami memasuki prosesi makan. Bersantap bersama. Bulik makan sembari menyuapi cucunya. Â Di sela-sela makan, kami berbincang-bincang. Macam-macam yang kami perbincangkan.
Di antaranya, kesibukan pekerjaan, keadaan rumah, sekolah anak-anak, pekerjaan anak-anak (si sulung dan anak terakhir paklik dan bulik memang seusia, yang sama-sama baru memasuki dunia kerja), keadaan keluarga, makanan yang tersaji di atas meja makan, dan kerabat.
Itu menjadi bahan bincang-bincang yang terasa menarik saat makan bersama. Karena, hingga makan sudah selesai, kami masih membincangkannya di meja makan sembari menikmati makanan yang kami anggap sebagai makanan penutup, seperti, keripik belinjo, buah jeruk, dan keripik tempe.
Saya rasa, kami betah ngobrol di meja makan, bukan karena makanan yang terhidang. Bukan. Tapi, karena kami saling terbuka dalam berbicara, saling mendengar, juga saling "mengerti". Dan, ternyata hal itu membuat suasana hangat.
Ya, di meja makan memang sering menjadi medan kehangatan, keakraban, dan pemulihan. Anda mungkin pernah atau bahkan beberapa kali mengalaminya. Ketika sedang ada persoalan dalam keluarga, sekecil atau sebesar apa pun, kadang tanpa sengaja solusi didapat  di meja makan ketika bersama menikmati hidangan sederhana masakan ibu.
Meja makan seakan menjadi tempat berunding yang solutif untuk berbagai persoalan yang timbul. Ini akhirnya mengingatkan saya terhadap Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus hingga 2 November 1949, yang pernah dilakukan untuk pengakuan kedaulatan Republik Indonesia  oleh para leluhur kita dengan bangsa Belanda (https://id.m.wikipedia.org).
Maka, wajar kalau kemudian muncul beberapa ungkapan atau istilah berkaitan dengan kata "meja" yang mengandung maksud yang baik, positif, dan solutif. Misalnya, "diselesaikan di atas meja", "dibawa ke meja hijau", dan "meja perjamuan". Istilah yang disebut terakhir erat hubungannya dengan terminologi Kristen.
Nasihat bijak juga sering dihubungkan dengan meja makan. Ada nasihat begini, misalnya, momen makan bersama sangat mendukung untuk membangun keakraban dalam keluarga; waktu makan bersama sangat relevan untuk menasihati anak; ketika makan bersama menjadi kesempatan baik untuk berbagi cerita.
Jadi, tak perlu heran kalau sehabis makan bersama, baik bersama keluarga maupun saudara, kita sering menemukan suasana yang menyenangkan, mencerahkan, mengakrabkan, dan mendamaikan. Bahkan, "mengesankan" karena suasana yang terbangun dalam benak  terbawa hingga waktu berpisah.
Saya juga menemukan suasana seperti itu di meja makan saat bersantap bersama paklik, bulik, cucunya, juga si ragil. Dan, sepertinya, paklik dan bulik menemukan hal yang sama sebab tak terasa lelah ngobrol berjam-jam di meja makan sambil ngemil ini, ngemil itu -sehabis makan.