Saya tak menyangka kalau  ada saudara yang akan  bertamu ke rumah kami  siang itu. Saudara yang saya maksud adalah adiknya mertua. Perempuan, pensiunan guru aparatur sipil negara (ASN). Beliau bersama suami dan seorang cucu yang masih kanak-kanak.
Ketika kami, saya dan si ragil (si bungsu), memasuki gang ke arah rumah, sewaktu saya menjemput si ragil dari sekolah, mengiring sebuah mobil. Jalannya begitu pelan. Sempat dalam hati, saya berkata, mobil ini kok pelan banget ya.
Karenanya, begitu ada kesempatan menyalip, kami menyalip. Ini cara mudah karena kami mengendarai motor. Ada ruang sedikit  saja, kami dapat lepas dari belakang mobil.
Ya, akhirnya kami berhasil berada di depan mobil, yang tadinya mobil itu berada di depan kami. Kami bisa agak laju mengendarai motor. Tak begitu lama, kami tiba di rumah.
Bertepatan kami tiba di rumah, istri berangkat bekerja. Kebetulan istri berangkat bersama tetangga, yang kebetulan satu profesi dan satu tempat bekerja, di  sebuah rumah sakit.
Belum sempat ia menutup pintu gerbang rumah, kami datang. Jadi, istri pergi keluar gerbang, kami datang memasuki gerbang. Saya langsung memarkirkan motor. Si ragil memasuki rumah.
Begitu saya berbalik mau menutup pintu gerbang, mobil yang tadi kami iring dan kemudian kami salip, berhenti persis di depan pintu gerbang. Lho!
Saya terkejut. Sebab, ternyata, orang yang berada di dalam mobil itu, saudara kami. Ya, adik mertua saya, bersama suaminya dan seorang cucunya. Saya menyambut mereka. Si ragil sudah di dalam rumah, jadi ia tak turut menyambut.
Anda tahu apa yang mereka bawa? Durian. Ya, buah durian. Tiga buah, ukuran  besar-besar. Toh memang, sekarang di banyak tempat baru musim buah durian bukan? Baunya langsung menyeruak ke lubang  hidung.
Saya terima buah durian itu dengan suka cita. Adik mertua (selanjutnya saya sebut bulik) dan suaminya (selanjutnya saya sebut paklik) juga terlihat suka cita. Terlihat dari raut muka mereka, berseri.