Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Anak Jaksel Harus Diberi Ruang untuk Berkembang

17 Januari 2022   21:08 Diperbarui: 18 Januari 2022   11:45 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena bahasa anak Jakarta Selatan (Jaksel) dijadikan bahan diskusi di Kompasiana kali ini. Sebab, bahasa anak Jaksel dianggap berbeda dengan bahasa anak dari tempat lain. 

Perbedaannya adalah anak Jaksel menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Inggris saat berkomunikasi,  sementara tidak demikian anak dari tempat lain.

Gejala tersebut dikhawatirkan oleh sebagian orang dapat merusak bahasa Indonesia. Bahkan, kelak dapat menyingkirkan bahasa Indonesia dari komunikasi mereka. 

Karena, bukan mustahil mereka (akhirnya) menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi sehari-hari. Atau, setidaknya, bahasa Indonesia hanya disisipkan di dalam konstruksi bahasa Inggris ketika  mereka berkomunikasi.

Kekhawatiran yang mungkin terjadi berbanding terbalik dengan kenyataan yang sekarang. Sebab, sekarang, komunikasi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang disisipi dengan bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia masih dominan di dalam komunikasi mereka.

Karenanya, saya tidak yakin bahwa gaya berbahasa anak Jaksel akan merusak tatanan bahasa Indonesia. 

Apalagi, mampu menyingkirkan bahasa Indonesia dari komunikasi mereka. Sebab, mereka hidup di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

Saat mereka berada di Jaksel boleh jadi bebas menggunakan bahasa anak Jaksel. Bahkan, dimungkinkan gaya berbahasa mereka itu semakin berkembang dari waktu ke waktu. Sebab, lingkungan pergaulan mereka sangat mendukung.

Tapi, ketika mereka berada di tempat lain, rasanya tak mungkin mereka mempertahankan gaya berbahasanya. Sebab, lingkungan tempat mereka berada belum tentu  mendukung. Bukankah begitu?

Selain itu, ketika mereka berkomunikasi toh  hanya mengganti diksi bahasa Indonesia dengan diksi bahasa Inggris yang semakna  dalam konstruksi kalimat. 

Ini berbeda, misalnya, dengan fenomena singkat-menyingkat kata bahasa Indonesia yang tak sesuai kaidah yang berlaku dalam chatting di media sosial. Tindakan ini memang dikhawatirkan dapat merusak bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, saya justru melihat ada sisi positif ketika anak Jaksel menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Inggris. 

Pertama, gaya berbahasa anak Jaksel boleh jadi sebagai sarana untuk belajar bahasa Inggris. Belajar berbahasa Inggris dengan cara begini (sepertinya) lebih simpel dan santai.

Dikatakan simpel karena ketika belajar tidak perlu mendatangi atau mendatangkan guru les. Cukup belajar dari teman sendiri. Langsung praktik, tak perlu ada teori yang harus dipelajari. Kalau ada kesalahan, dapat langsung saling memberi pembetulan.

Dikatakan santai karena saat belajar tidak membutuhkan waktu khusus seperti ketika mengikuti les. Tapi, dapat dilakukan kapan saja, yang penting berkumpul. 

Di situ bisa langsung terjadi proses "belajar". Selain itu, dapat dilakukan sambil beraktivitas apa pun, misalnya, nonkrong, makan bersama, dan nonton bareng.

Di dalam semuanya itu, tentu mereka (baca: anak Jaksel) mengerti bahwa dengan menguasai bahasa Inggris akan membuka banyak kemungkinan ke depan lebih baik. Yaitu, memiliki banyak relasi dan lebih luas jangkauannya.

Efek berikutnya, misalnya, mudah mencari pekerjaan. Sebab, kini, ternyata beberapa perusahaan besar merekrut tenaga kerja yang terampil berbahasa Inggris, selain memiliki keahlian khusus di bidangnya.

Beberapa waktu lalu, sebelum si sulung memperoleh pekerjaan seperti saat ini, sebuah perusahaan besar memanggilnya untuk berwawancara. Ternyata, saat wawancara menggunakan bahasa Inggris. Ia dinyatakan tidak lolos setelah wawancara  karena lemah di dalam bahasa Inggris.

Pun demikian melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, lebih-lebih di luar negeri, bahasa Inggris menjadi modal penting.

Jadi, tak menguasai bahasa Inggris, bisa gagal melanjutkan pendidikan yang didambakan. Dan, model belajar bahasa Inggris anak Jaksel dimungkinkan memberi kontribusi positif untuk akses ke sana.

Kedua, gaya berbahasa anak Jaksel menjadi tanda khusus bagi mereka dari kelompok lain. Tanda khusus ini sebagai jati diri mereka. Bukankah setiap orang, lebih-lebih  anak muda, di mana dan kapan pun selalu ingin memiliki sesuatu yang berbeda dengan  yang lain?

Hal tersebut seperti munculnya fenomena bahasa prokem yang ramai digunakan pada 1970-an di Jakarta, yang pada perkembangannya kemudian tergantikan karena munculnya bahasa gaul pada 1980-an sampai 1990-an (https://id.m.wikipedia.org). Bahasa ini digunakan oleh kalangan tertentu. Sehingga, menjadi ciri atau tanda bagi mereka, yang tak dimiliki oleh kalangan lain.

Hal yang menggembirakan adalah bahasa tersebut pada perkembangannya justru dimasukkan ke dalam ragam bahasa Indonesia  informal. Maka, bukan tidak mungkin bahasa anak Jaksel pun pada perkembangannya, entah kapan,   dimasukkan ke dalam ragam bahasa Indonesia. Semoga ya.

Kalau seperti itu yang terjadi, tentu bahasa anak Jaksel justru memperkaya ragam bahasa Indonesia. Jadi, tak merusak, apalagi menyingkirkan keberadaan bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, menurut saya, gaya berbahasa anak Jaksel, yang menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa Inggris, sejatinya merupakan kreativitas berbahasa, seperti halnya bahasa prokem dan bahasa gaul.

Jadi, seharusnya gaya berbahasa anak Jaksel diberi "ruang" untuk berkembang. Kita harus menghargai gaya berbahasa mereka. Dengan cara, membiarkan saja gaya berbahasa anak Jaksel berkembang di habitatnya. Selain itu, kita tak melabelinya sebagai gaya berbahasa yang "kacau".

Yang terpenting adalah ada pemahaman terhadap mereka (baca: anak Jaksel) mengenai bahasa anak Jaksel hanya digunakan dalam situasi non formal; tidak digunakan dalam situasi formal. 

Dengan begitu,  bahasa anak Jaksel tetap bisa berkembang secara alamiah. Tapi, di sisi lain tidak berdampak buruk, terutama, terhadap bahasa Indonesia.

Sekalipun saya tak pernah menyaksikan komunikasi anak Jaksel sehari-hari secara langsung karena saya berada di tempat yang  jauh dari mereka, saya berkeyakinan bahwa  mereka menggunakan gaya berbahasa mereka hanya dalam situasi-situasi yang non formal. Saya yakin itu.

Karena, saat di sekolah atau kampus, mereka tak mungkin dibiarkan oleh guru atau dosen menggunakan "bahasa anak Jaksel" ketika berlangsung  pembelajaran. 

Pun demikian ketika mereka terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat resmi, pasti selalu ada imbauan dari pihak yang berkepentingan  agar mereka tak menggunakan bahasa anak Jaksel.

Dari pengalaman-pengalaman seperti itu, lambat laun mereka dapat mengontrol diri dalam berkomunikasi. 

Saat situasi seperti apa mereka menggunakan bahasa khasnya, bahasa anak Jaksel. Dan, saat situasi seperti apa mereka harus menggunakan bahasa yang lain, misalnya, bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hal itu adalah bagian dari upaya kita memberi ruang agar bahasa anak Jaksel tetap bisa berkembang. Pemberian ruang tersebut sekaligus menandai bahwa kita menerima keberadaan bahasa anak Jaksel. 

Dengan begitu, komunitas pengguna (baca: anak Jaksel) dapat mengekspresikan gaya berbahasanya secara optimal. Bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun