Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Orangtua Perlu Mengerti Organisasi Anak di Sekolah

12 Januari 2022   19:45 Diperbarui: 13 Januari 2022   02:36 1440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Latihan Dasar Kepemimpinan pengurus OSIS| Ilustrasi: Dokumentasi pribadi

Si bungsu yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) mengatakan kepada saya bahwa salah seorang temannya yang ditunjuk oleh guru untuk menjadi pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS), mengundurkan diri.

Saat ia menyampaikan informasi itu seolah bersikap "merendahkan" keputusan yang diambil temannya. Hal itu terbaca dalam kata-kata yang diucapkan. Misalnya, "sudah dipilih kok tidak mau", "harusnya dijalani", "sayang bukan?".

Sebagai orangtua, saya bangga sekaligus sedih mendengar ucapan si bungsu itu. Saya bangga karena si bungsu memiliki pemikiran yang positif terhadap organisasi (setidaknya organisasi di sekolah). Saya sedih karena ia memiliki pikiran negatif terhadap keputusan temannya.

Teman si bungsu "mengundurkan diri" mungkin karena ia membayangkan bahwa organisasi di sekolah akan membuatnya lelah, menghabiskan waktu, dan mengurangi aktivitas pribadi. Bahkan, dapat mengganggu belajar.

Adanya pemikiran seperti itu dalam diri teman si bungsu boleh jadi karena ia belum mengerti persis mengenai organisasi kesiswaan. Ia baru mengerti bagian permukaannya saja.

Pengertian itu mungkin saja diperoleh dari perkataan temannya. Barangkali dari orang-orang lain di sekitarnya. Atau, mungkin dari orangtua sendiri yang memang tak menyukai anaknya terlibat dalam organisasi di sekolah.

Ada memang orangtua yang tidak mengizinkan anaknya terlibat dalam organisasi di sekolah. Alasannya sangat klasik. Di antaranya, anak terlalu banyak kegiatan dan aktivitas belajar anak dapat terganggu.

Saya menemukan orangtua/wali murid seperti itu di sekolah, tempat saya mengajar. Tapi, jumlahnya memang tak banyak. Saya yakin di sekolah yang lain juga dapat ditemukan hal yang sama. Saya yakin pula jumlahnya tak banyak.

Namun, jumlah yang tak banyak tersebut penting untuk diperhatikan. Sebab, hal tersebut dapat menjadi penyebab anak-anak tidak mau berorganisasi di sekolah. Bahkan, dapat saja awalnya anak mau berorganisasi, tapi akhirnya mundur setelah ada "pengaruh" dari orangtua.

Padahal, organisasi di sekolah diadakan sejak anak-anak berada di tingkat rendah. Di sekolah dasar (SD) dan yang sederajat, misalnya, sudah ada kepengurusan kelas, daftar piket kebersihan, dan daftar merawat tanaman milik kelas.

Di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan yang sederajat, sekolah menengah atas (SMA)/sekolah menengah kejuruan (SMK) dan yang sederajat, sudah ada organisasi siswa intra sekolah (OSIS). OSIS merupakan organisasi tingkat sekolah yang ruang lingkup kerjanya lebih luas.

Selain itu, umumnya sudah ada unit-unit kegiatan sekolah, yang di dalamnya ada kepengurusannya. Unit-unit kegiatan itu, di antaranya ekstra basket, ekstra melukis, ekstra bola voli, ekstra teater, ekstra penelitian ilmiah, dan ekstra tari.

Di dalam semuanya itu, anak-anak sudah dikenalkan struktur keorganisasian. Langsung implementasi, tidak teoretis. Anak-anak mempraktikkan bekerja dalam organisasi. Mereka bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam organisasi.

Dari situ didapatkan beberapa nilai kehidupan, di antaranya bekerja sama, saling menghargai, bertanggung jawab, disiplin, berpikir kritis (diskusi), dan kepemimpinan.

Nilai-nilai kehidupan tersebut penting bagi semua orang, termasuk anak-anak. Sebab, anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Kalau generasi yang tua sudah memasuki masa pensiun, tentu yang meneruskan generasi muda. Generasi muda yang tangguh dibentuk sejak anak-anak.

Oleh karena itu, organisasi di sekolah yang dapat menjadi wadah pembentukan generasi penerus yang tangguh, tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi sekarang, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) membuka penerimaan mahasiswa jalur ketua OSIS.

Memandang betapa pentingnya peran organisasi di sekolah dalam pembentukan potensi dan prospek masa depan anak, sudah seharusnya orangtua/wali murid merespon positif. Selanjutnya, orangtua/wali murid mendorong anak-anak mereka ambil bagian dalam organisasi di sekolah.

Orangtua/wali murid yang tak memperbolehkan anaknya terlibat dalam organisasi di sekolah, harus mau berubah. Berubah mengizinkan anak-anak mereka bergabung dalam organisasi di sekolah. Juga melarang anak-anak mundur dari organisasi di sekolah.

Orangtua/wali murid wajib mengerti keberadaan organisasi di sekolah. Tidak membedakannya dengan aktivitas belajar (kegiatan intrakurikuler). Apalagi merendahkan organisasi di sekolah dan memosisikannya di bawah aktivitas belajar.

Aktivitas belajar dan keorganisasian di sekolah sejatinya sama. Yaitu, sama-sama mempersiapkan anak agar memiliki potensi diri secara optimal, baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Aktivitas belajar dan keorganisasian di sekolah justru saling melengkapi untuk kepentingan potensi anak.

Itu sebabnya, kalau ada pemikiran keterlibatan anak dalam organisasi di sekolah, misalnya, menjadi pengurus OSIS, mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, kebanyakan kegiatan, dan menyita banyak waktu, tak sepenuhnya benar.

Sebab, tergantung bagaimana praktik baik anak dalam mengatur waktu. Kalau anak mengatur waktunya baik, tak mungkin ia ketinggalan pelajaran. Tapi, jika anak mengatur waktunya buruk atau tak mengatur waktu, tentu ia ketinggalan pelajaran.

Selain itu, kelangsungan aktivitas belajar dan keorganisasian di sekolah toh tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, relatif mudah dalam menata waktu untuk belajar dan waktu untuk berorganisasi.

Selanjutnya, anak yang bergabung dalam organisasi di sekolah memang banyak kegiatan. Tapi, sejauh anak masih bisa melakukannya dan tetap merasa enjoy, kenapa tidak? 

Banyak kegiatan justru mengondisikan anak-anak aktif dan bukan mustahil mereka juga produktif; bersosialisasi dengan banyak orang dan membangun rasa percaya dirinya.

Menyita banyak waktu? 

Ya, sebab kegiatan keorganisasian di sekolah umumnya dilakukan di luar jam intrakurikuler. Tapi, waktu yang digunakan oleh anak-anak tak sia-sia. Sebab, kegiatan keorganisasian di sekolah memenuhi kebutuhan anak, baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap untuk modal hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun