Si bungsu yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) mengatakan kepada saya bahwa salah seorang temannya yang ditunjuk oleh guru untuk menjadi pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS), mengundurkan diri.
Saat ia menyampaikan informasi itu seolah bersikap "merendahkan" keputusan yang diambil temannya. Hal itu terbaca dalam kata-kata yang diucapkan. Misalnya, "sudah dipilih kok tidak mau", "harusnya dijalani", "sayang bukan?".
Sebagai orangtua, saya bangga sekaligus sedih mendengar ucapan si bungsu itu. Saya bangga karena si bungsu memiliki pemikiran yang positif terhadap organisasi (setidaknya organisasi di sekolah). Saya sedih karena ia memiliki pikiran negatif terhadap keputusan temannya.
Teman si bungsu "mengundurkan diri" mungkin karena ia membayangkan bahwa organisasi di sekolah akan membuatnya lelah, menghabiskan waktu, dan mengurangi aktivitas pribadi. Bahkan, dapat mengganggu belajar.
Adanya pemikiran seperti itu dalam diri teman si bungsu boleh jadi karena ia belum mengerti persis mengenai organisasi kesiswaan. Ia baru mengerti bagian permukaannya saja.
Pengertian itu mungkin saja diperoleh dari perkataan temannya. Barangkali dari orang-orang lain di sekitarnya. Atau, mungkin dari orangtua sendiri yang memang tak menyukai anaknya terlibat dalam organisasi di sekolah.
Ada memang orangtua yang tidak mengizinkan anaknya terlibat dalam organisasi di sekolah. Alasannya sangat klasik. Di antaranya, anak terlalu banyak kegiatan dan aktivitas belajar anak dapat terganggu.
Saya menemukan orangtua/wali murid seperti itu di sekolah, tempat saya mengajar. Tapi, jumlahnya memang tak banyak. Saya yakin di sekolah yang lain juga dapat ditemukan hal yang sama. Saya yakin pula jumlahnya tak banyak.
Namun, jumlah yang tak banyak tersebut penting untuk diperhatikan. Sebab, hal tersebut dapat menjadi penyebab anak-anak tidak mau berorganisasi di sekolah. Bahkan, dapat saja awalnya anak mau berorganisasi, tapi akhirnya mundur setelah ada "pengaruh" dari orangtua.
Padahal, organisasi di sekolah diadakan sejak anak-anak berada di tingkat rendah. Di sekolah dasar (SD) dan yang sederajat, misalnya, sudah ada kepengurusan kelas, daftar piket kebersihan, dan daftar merawat tanaman milik kelas.