Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berpikir Positif, Kalahkan Trauma

20 Desember 2019   21:26 Diperbarui: 21 Desember 2019   17:45 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah memiliki pemimpin yang suka uang. Kalimat itu kesannya wajar saja. Sebab, siapa pun, termasuk saya, juga suka uang. Rasanya tidak ada kok orang yang masih hidup tidak suka uang. Semua orang hidup suka uang. Mulai anak-anak hingga orang dewasa suka uang. Bukankah begitu?

Tetapi, suka uang yang bagaimana, itu yang membedakan. Pemimpin saya, terhadap hampir semua aktivitas berujung pada uang. Harus menghasilkan uang. Harus menguntungkan. Bahkan, sekalipun anak buahnya menderita, yang penting menghasilkan uang, seakan tidak menjadi masalah. Ia tetap bisa menikmatinya dengan riang ria.

Kenyataan yang sudah biasa, meskipun pemimpin "suka uang" dengan berbagai cara mendapatkannya termasuk hingga anak buah pun (dibuat) menderita, selama itu pula tidak ada orang yang berani bersuara. 

Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal, sejatinya secara sembunyi-sembunyi ada pemberontakan dalam benak. Ketika sang pemimpin tidak berada di tempat, anak buah bersuara. Tetapi, ketika sang pemimpin berada di tempat, anak buah diam saja.

Semua itu terjadi karena rasa takut. Takut disingkirkan kalau bersuara. Takut dipecat kalau berbicara. Intinya, takut kehilangan pekerjaan yang boleh jadi mengakibatkan istri/suami, anak-anak, dan keluarga menderita karena kebutuhan-kebutuhan tak dapat terpenuhi lagi.

Bukan mustahil di antara sesama anak buah saling mencurigai di tempat kerja. Sebab, bisa-bisa sang pemimpin (telah) memiliki mata-mata, spionase. Sehingga kalau ada anak buah mau bersuara, sangat berhati-hati meski mengetahui sang pemimpin tidak berada di tempat. Tidak bisa leluasa. Harus membaca situasi dan kondisi terlebih dahulu. Baru ketika dirasa aman, mulailah bersuara. Menyuarakan kelakuan pemimpin yang suka uang.

Pemimpin yang suka uang tentu bisa dicari asal-usulnya. Posisi pemimpin yang diperolehnya karena kolusi, lazimnya yang suka uang. Sebab, untuk menduduki kursi pemimpin sudah keluar modal terlebih dahulu. Selama ia memimpin tentu ingin mengembalikan modal. Bahkan, hitung-hitungan orang bekerja, harus mendapat untung. Percuma kalau hanya kembali modal. Ia harus mendapat untung, bisa kembali lipat ganda dari modal.

Tetapi, pemimpin tetaplah terbatas. Sebab, ada masa periode menjadi pemimpin. Ketika masanya habis, ia harus meninggalkan kursi pemimpin. Tidak terus mendudukinya.

Jadi, sangat mungkin ketika berganti pemimpin, berganti pula gaya seseorang memimpin. Kalau dahulu memiliki pemimpin suka uang, boleh jadi sekarang memiliki pemimpin yang suka berbagi uang. Pemimpin yang begini, di mana dan kapan pun disukai anak buah. Situasi dan kondisi kerja dalam kepemimpinan yang demikian niscaya nyaman dan tenteram.

Saya berpikir sekalipun tidak suka berbagi uang, tetapi seorang pemimpin bekerja secara tanggung jawab dan berintegritas, tetaplah memberi suasana kerja yang nyaman dan tenteram. Semua anak buah tentu menerima dengan suka cita. Selama bertanggung jawab dan berintegritas, tidak ada orang yang berpikir secara spekulatif. 

Orang-orang dalam lingkungan kerja pasti berpikir lurus. Karena masing-masing sudah memahami peran dan bagian yang menjadi haknya. Orang yang perannya kecil, haknya juga kecil. Orang yang perannya besar, hak yang diterimanya juga besar. Semua yang berjalan secara proporsional menciptakan kesejahteraan bersama.

Hanya, trauma masa lalu kadang masih membelenggu. Keburukan sang pemimpin masa lalu masih terbayang. Celakanya kalau keburukan itu kemudian dihubungkan dengan sang pemimpin baru. 

Sang pemimpin baru yang bertanggung jawab dan berintegritas disamakan dengan sang pemimpin masa lalu yang buruk. Ini kenyataan yang sangat mungkin terjadi.

Apalagi kalau terjadi di era kehidupan yang memang buruk politik, budaya, sosial, dan bidang lainnya yang melanda banyak segi kehidupan. Di mana-mana, mulai dari tingkat rendah hingga tinggi, terjadi keburukan, pastilah trauma masa lalu itu tetap ada dan sulit menghilang. Terus mengotori pikiran dan perasaan. Sehingga kalau pun sudah ada era kepemimpinan yang baik, tetap saja kurang mantap diterima. Masih dicurigai ini dan itu.

Hal itu bisa terjadi dari satuan-satuan kerja terkecil, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga satuan-satuan kerja tertinggi, di tingkat pusat. Saya merasakannya. 

Sekalipun sudah ada perubahan dengan pemimpin baru yang rekam jejaknya baik, tidak semua orang yang menjadi mitra kerja memiliki persepsi baik. Ya, persepsi itu, disadari atau tidak, karena bawaan trauma masa lalu. Masa lalu yang buruk tetap menjadi hantu di masa sekarang.

Memang tidak mudah menghilangkan trauma itu. Tetapi, tidak mungkin kita terbelenggu trauma begitu terus-menerus. Saya menyadari kalau trauma itu terus membelenggu kita, tidak pernah kita berpikir positif. Selalu ada yang buruk di pikiran dan perasaan kita terhadap pemimpin kita atau orang baru. Kita tidak pernah bisa menerima. Seakan-akan semua orang buruk. Yang baik hanya kita.

Oleh karena itu, beberapa hari yang lalu saya agak kencang berbicara kepada salah seorang teman kerja yang selalu mengecap buruk orang lain, pemimpin kami yang baru. 

Sepertinya setiap kata yang diungkapkan pemimpin dianggapnya isapan jempol, omong-omong thok (OOT). Saya mengajaknya untuk berpikir positif. Saya bukan sok suci, apalagi suci. Tidak. Saya hanya mau belajar mengalahkan trauma masa lalu. Agar dapat menjadi baik di masa sekarang. Jadi, apa salahnya mau berusaha berpikir positif.

Toh banyak hal baik karena orang berpikir positif. Untuk diri sendiri, misalnya, detak jantung kita akan normal-normal saja. Sebab, dengan berpikir positif, pastilah perasaan nyaman-nyaman saja. Dan, perasaan yang nyaman membuat detak jantung tetap lembut. Aliran darah dalam tubuh menjadi lancar. Kita sehat, hidup ceria.

Selain itu, berpikir positif tidak menambah dosa. Karena yang ada dalam pikiran dan perasaan hal-hal yang baik. Menyingkirkan hal-hal buruk. Jadi, yang ada pujian atau penghormatan. Tidak ada hujatan atau ujaran kebencian. Menjadikan pikiran asri dan perasaan bening.

Sementara itu, untuk orang lain, berpikir positif menimbulkan kebahagiaan bersama. Karena hubungan bisa terjalin mesra. Komunikasi terbuka dan lancar. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Sehingga, saling menguatkan.

Dalam relasi kerja, selalu berpikir positif, tentu sangat menguntungkan. Tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga rohani. Karena suasana kerja yang nyaman dan tenteram, pasti memunculkan berbagai kreasi dan inovasi. Yang, dapat meningkatkan dan melancarkan produktivitas kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun