Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berpikir Positif, Kalahkan Trauma

20 Desember 2019   21:26 Diperbarui: 21 Desember 2019   17:45 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya, trauma masa lalu kadang masih membelenggu. Keburukan sang pemimpin masa lalu masih terbayang. Celakanya kalau keburukan itu kemudian dihubungkan dengan sang pemimpin baru. 

Sang pemimpin baru yang bertanggung jawab dan berintegritas disamakan dengan sang pemimpin masa lalu yang buruk. Ini kenyataan yang sangat mungkin terjadi.

Apalagi kalau terjadi di era kehidupan yang memang buruk politik, budaya, sosial, dan bidang lainnya yang melanda banyak segi kehidupan. Di mana-mana, mulai dari tingkat rendah hingga tinggi, terjadi keburukan, pastilah trauma masa lalu itu tetap ada dan sulit menghilang. Terus mengotori pikiran dan perasaan. Sehingga kalau pun sudah ada era kepemimpinan yang baik, tetap saja kurang mantap diterima. Masih dicurigai ini dan itu.

Hal itu bisa terjadi dari satuan-satuan kerja terkecil, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga satuan-satuan kerja tertinggi, di tingkat pusat. Saya merasakannya. 

Sekalipun sudah ada perubahan dengan pemimpin baru yang rekam jejaknya baik, tidak semua orang yang menjadi mitra kerja memiliki persepsi baik. Ya, persepsi itu, disadari atau tidak, karena bawaan trauma masa lalu. Masa lalu yang buruk tetap menjadi hantu di masa sekarang.

Memang tidak mudah menghilangkan trauma itu. Tetapi, tidak mungkin kita terbelenggu trauma begitu terus-menerus. Saya menyadari kalau trauma itu terus membelenggu kita, tidak pernah kita berpikir positif. Selalu ada yang buruk di pikiran dan perasaan kita terhadap pemimpin kita atau orang baru. Kita tidak pernah bisa menerima. Seakan-akan semua orang buruk. Yang baik hanya kita.

Oleh karena itu, beberapa hari yang lalu saya agak kencang berbicara kepada salah seorang teman kerja yang selalu mengecap buruk orang lain, pemimpin kami yang baru. 

Sepertinya setiap kata yang diungkapkan pemimpin dianggapnya isapan jempol, omong-omong thok (OOT). Saya mengajaknya untuk berpikir positif. Saya bukan sok suci, apalagi suci. Tidak. Saya hanya mau belajar mengalahkan trauma masa lalu. Agar dapat menjadi baik di masa sekarang. Jadi, apa salahnya mau berusaha berpikir positif.

Toh banyak hal baik karena orang berpikir positif. Untuk diri sendiri, misalnya, detak jantung kita akan normal-normal saja. Sebab, dengan berpikir positif, pastilah perasaan nyaman-nyaman saja. Dan, perasaan yang nyaman membuat detak jantung tetap lembut. Aliran darah dalam tubuh menjadi lancar. Kita sehat, hidup ceria.

Selain itu, berpikir positif tidak menambah dosa. Karena yang ada dalam pikiran dan perasaan hal-hal yang baik. Menyingkirkan hal-hal buruk. Jadi, yang ada pujian atau penghormatan. Tidak ada hujatan atau ujaran kebencian. Menjadikan pikiran asri dan perasaan bening.

Sementara itu, untuk orang lain, berpikir positif menimbulkan kebahagiaan bersama. Karena hubungan bisa terjalin mesra. Komunikasi terbuka dan lancar. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Sehingga, saling menguatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun