Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Merangsang Anak Belajar Bahasa

24 Oktober 2019   13:13 Diperbarui: 25 Oktober 2019   19:42 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita mengamati keadaan sekitar, betapa membludaknya bahasa. Begitu kita memasuki jalan utama, mata kita mulai dimanjakan oleh bahasa. Di sepanjang jalan banyak papan iklan, reklame, baliho, dan papan identias lainnya yang dipenuhi dengan bahasa.

Semua itu tidak hanya berdiri di atas pokok tiang, tetapi juga menempel di dinding rumah, pagar, dan pohon. Oleh karena itu, begitu pandangan kita menyapu sekeliling seakan yang tampak adalah pemandangan bahasa.

Belum lagi yang ada di media, baik media elektronik  maupun yang berjaringan internet. Keduanya menyuguhkan tayangan yang lebih seru, menarik, dan atraktif. Sebab, ada unsur gerak, suara, warna, dan cepat berganti-ganti penuh variasi. Agaknya media yang demikian yang berpengaruh dahsyat terhadap pemirsa.

Dalam semua media yang saya sebut di atas, setidaknya tampak antara bahasa dan gambar dipadukan menjadi satu, yang mampu "menggoda" emosi dan pikiran orang yang melihat. 

Saya sendiri sering tergelitik, terkesima, dan berdecak kagum sehingga tersenyum sendiri, terutama setelah membaca tulisan-tulisan yang terpampang dan mendengar bahasa dalam tayangan.

Hal itu barangkali disebabkan oleh karena saya guru Mata Pelajaran (Mapel) Bahasa Indonesia, yang setiap hari bersentuhan dengan bahasa.  Akan tetapi, saya harus jujur bahwa bahasa-bahasa iklan itu unik, seksi, dan genit.

Namun, saya pun harus jujur bahwa bahasa-bahasa iklan itu banyak yang "melanggar" kaidah bahasa yang benar. Struktur kalimat dibalik, diksi kurang tepat, dan ejaan terkesan semaunya. Bahkan, tidak sedikit bahasa iklan yang sulit dinalar. Akan tetapi, itulah realitas bahasa-bahasa iklan yang bertebaran di mana-mana.

Tampaknya di zaman sekarang, bahasa-bahasa semacam itu yang diminati pasar. Laku dijual. Makanya, banyak ditemukan di sekitar kita. Mari kita mencoba menghitung-hitung berapa banyak bahasa bergaya bebas yang mudah ditemukan di sekitar kita. Jumlahnya tentu tak terhingga.

Ya, jumlah bahasa bergaya bebas jauh lebih banyak ketimbang bahasa bergaya terikat (bahasa resmi). Dan, kenyataan itu yang kita hadapi sehari-hari sehingga seakan-akan otak kita sudah terpenuhi olehnya. 

Maka, jangan heran kalau suatu ketika kita menjumpai orang-orang, tidak peduli tua atau muda, laki-laki atau wanita, tiba-tiba gaya bicaranya keiklan-iklanan.

Kehidupan anak-anak kita sehari-hari juga tidak dapat lepas dari keberadaan bahasa bergaya bebas tersebut. Sepanjang hari dari pagi hingga sore, mereka menjumpainya. Sepanjang jalan dari rumah sampai dengan sekolah tidak luput dari pemandangan bahasa-bahasa eksotis itu.

Demikian juga saat di rumah, melalui televisi atau media jaringan internet, bahasa yang kita ketahui tak kalah eksotisnya. Saya meyakini,  secara intuitif keadaan tersebut menjadi pengetahuan anak-anak.

Bahkan, karena tersaji seperti menu makanan sehari-hari boleh jadi melekat erat sebagai pengetahuan yang sulit terlepas dan bukan mustahil justru menginspirasi. 

Usia anak-anak, yang sering orang menyebutnya sebagai masa tumbuh kembang, niscaya cepat menyerap semua informasi yang ada, lebih-lebih yang menarik. Dan, bahasa-bahasa iklan termasuk "makhluk" yang menarik.

Sekarang anak-anak kita yang masih usia kanak-kanak (saja) sudah pandai berbicara. Ceplas-ceplos. Begitu lancar mereka mengucapkan kata-kata melalui mulut mungilnya. 

Bahkan, cenderung tidak berjeda. Terus berbicara seakan sulit dihentikan. Ditambah lagi intonasi bicara dan ekspresinya yang "aduhai", yang mengundang setiap orang yang melihat menjadi gemas.

Memberi kebebasan
Oleh karena itu, membimbing kebahasaan anak-anak akan lebih mengena kalau berangkat dari pengetahuan bahasanya. 

Anak-anak sudah memiliki pengetahuan bahasa gaya bebas (untuk selanjutnya disebut bahasa kreatif), maka seyogianya mereka diberi bimbingan mengembangkan kemampuannya berbahasa kreatif.

Memfasilitasi mereka menulis secara bebas, misalnya, akan memungkinkan pengetahuan bahasa kreatifnya berkembang secara maksimal. Mereka  akan merekonstruksi bahasa-bahasa yang pernah ditemukan dan dipikirkan. Dan, ini kita memahaminya sebagai kreativitas berbahasa anak-anak.

Selanjutnya, boleh jadi kita akan menemukan tulisan anak-anak dengan kata-kata dan kalimat-kalimat yang seolah meluncur begitu saja dari pikirannya.  Mereka menuliskan semua gagasan yang memenuhi benaknya. Apa adanya.

Mungkin sulit akhirnya bagi kita untuk menemukan ujung dan pangkalnya. Mungkin kita juga akan kesulitan menemukan hubungan satu bagian dengan bagian yang lain. 

Meloncat-loncat, begitu sulit kita mengait-ngaitkan. Susunan kalimat terbolak-balik. Pilihan kata yang tidak tepat.   Belum lagi ejaan yang mungkin berantakan.

Itulah produk tulisan anak-anak zaman now, yang banyak inspirasi, yang kita beri kebebasan dalam menuangkan ide-idenya secara spontan. Mereka menggoreskan ide-idenya tanpa mengekor guru. Tanpa melihat contoh yang disediakan oleh guru. Tanpa juga meniru contoh yang sudah ada di buku.  

Membiarkannya "liar" menuliskan ide berdasarkan pengalaman-pengalaman sendiri akan merangsang kreativitas berbahasa mereka. Merangsang keberanian mereka mengungkapkan gagasan. Dan, ini titik penting yang mestinya ditumbuhkan oleh guru.

Kekhawatiran guru kalau anak-anak didiknya kebablasan dalam mengungkapkan gagasan, tidak perlu terjadi. Sebab, kekhawatiran itu umumnya diikuti pembatasan-pembatasan yang dapat membatasi kreativitas anak.

"Seliar" apa pun gagasan anak, tetap memiliki keterbatasan. Jadi, rasanya tidak mungkin gagasan anak-anak melewati batas keadaban masyarakat. Yang dimaksud gagasan dalam konteks ini adalah isi tulisan. Terkait dengan bahasa, justru sekreatif mungkin kita merangsangnya.

Akan tetapi, selama menjadi guru, saya belum dapat mewujudkan "keliaran" anak-anak berbahasa seperti yang saya gambarkan di atas. Sebab, selama menjadi guru Bahasa Indonesia, pikiran saya sudah dipenuhi kaidah-kaidah berbahasa. Bahkan, sejak kuliah rasanya.

Dan, saat menulis catatan ini, saya baru menyadari bahwa keberadaan kaidah-kaidah itu dapat membelenggu kreativitas berbahasa anak-anak. Sebab, pada dasarnya anak-anak lebih suka diberi kebebasan. Kaidah-kaidah berbahasa yang dikenalkan kepada mereka akan membatasi kreativitas berbahasanya.

Berikut ini ada contoh yang realistis. Saat jam Mapel Bahasa Indonesia, anak-anak diminta menulis satu kalimat oleh guru. Saat guru menemukan ada ejaan yang salah dalam kalimat yang ditulis seorang anak, yang biasa dilakukan oleh guru adalah menunjukkan kesalahan itu dan  memberi tahu seperti apa yang betul. 

Selanjutnya, anak tersebut dan anak-anak yang lain umumnya diimbau tidak lagi mengalami kesalahan serupa pada kesempatan yang lain.

Dalam contoh di atas,  guru (termasuk saya) sering kurang menyadari kalau tindakan itu dapat "mengganggu" emosi anak. Sangat mungkin pada kesempatan yang lain, anak tidak "seliar" yang dulu saat diminta untuk menulis lagi. 

Karena ada perasaan khawatir kalau mengalami kesalahan. Mereka akan sangat  berhati-hati saat menulis. Mulai mempertimbangkan salah atau benar. Dan, umumnya dalam kondisi seperti itu, gagasan tidak dapat keluar secara cepat alias tersendat-sendat.

Ada yang dapat kita gunakan sebagai analogi. Barangkali kita pernah melihat atau memergoki anak yang sedang berbicara begitu lancar, entah ketika ia disuruh atau berbicara atas kemauannya sendiri. 

Saking lincahnya berbicara, kita terheran-heran. Sebab, kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah rentetan peluru dari moncong bedil, tidak habis-habis. 

Akan tetapi, kalau kita mencoba mengusiknya, dapat dipastikan langsung membisu. Dan, kita akan mengalami kesulitan untuk memintanya berbicara lagi.

Oleh karena itu, membiarkan anak-anak bebas menuliskan ide-ide tanpa harus dikenalkan terlebih dahulu kaidah-kaidah berbahasa, jauh lebih memotivasi. 

Hal yang penting adalah ide-ide briliannya agar terungkap, tanpa harus memikirkan ada aturan itu atau aturan ini. Biarkan saja terus berkarya. Bahasa anak-anak yang unik, nyentrik, dan menggemaskan, yang mungkin lepas dari kaidah berbahasa, bukan kesalahan mereka.

Lingkungan telah membentuknya. Bahasa-bahasa iklan yang begitu mudah dijumpainya setiap hari telah mewarnai gaya berbahasa mereka. Jadi, wajar kalau mereka mengekspresikan pengalamannya dengan bahasa yang kreatif, bahasa yang sering dijumpainya itu.

Jembatan berbahasa
Niscaya mereka merasakan bahwa mengekspresikan ide-ide dengan bahasa kreatif lebih menyenangkan. Sebab, mereka  telah memiliki  pengetahuan-pengetahuan dasar, yang didapatnya dari pengalaman sehari-hari. Mengekspresikan ide akhirnya menjadi kesukacitaan tersendiri.

Dan, perasaan senang itu yang memang harus kita tumbuhkan. Kalau dalam diri anak-anak sudah tumbuh perasaan senang menulis, tidak disuruh menulis pun, mereka akan menulis. Menulis apa saja yang menginspirasi mereka.

Pengalaman menunjukkan bahwa tidak mudah menghentikan orang beraktivitas  yang menyenangkan bagi dirinya. Apalagi masih anak-anak, yang umumnya sisi emosinya masih lebih kuat ketimbang logika. 

Sehingga apa pun yang sudah menjadi kesukaannya, tidak mudah orang lain mengusiknya. Orang tua meminta mereka beristirahat untuk makan saja saat menulis, misalnya, sering kurang berhasil. Tetap saja mereka beraktivitas sesuai dengan kemauannya.

Berhubungan dengan keterampilan berbahasa, baik menulis maupun berbicara, kita cukup memosisikan diri sebagai penikmat apabila anak sudah mencapai pada tingkat kesenangan. 

Mengikuti ke mana mereka terus berkembang dan menyediakan  sarana untuk mewadahi dan mengembangkan kesukaannya merupakan bagian yang penting. 

Hobi berbahasa kreatif yang sudah terbentuk didukung dengan kondisi lingkungan dan sarana yang tepat akan merangsang pertumbuhan secara maksimal.

Pada masa puncak pertumbuhan berbahasa kreatif, kita dapat menggunakannya sebagai momen untuk (sedikit demi sedikit) mengarahkan anak pada berbahasa dengan kaidah yang benar. 

Arahan-arahan mengenai kaidah-kaidah berbahasa yang benar tidak akan menghambat anak-anak meningkatkan keterampilan berbahasanya karena mereka sudah berada dalam kematangan berbahasa kreatif.

Kematangan berbahasa kreatif dengan demikian seumpama jembatan untuk menuju ke kematangan berbahasa dengan kaidah yang benar. Bahkan, lebih jauh dari itu, bukan mustahil anak-anak akhirnya mahir juga berbahasa sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik dan benar.

Pengalaman menunjukkan bahwa meraih puncak keterampilan dalam bidang apa pun selalu diawali dari bagian-bagian yang ringan. Baru kemudian menuju pada bagian-bagian yang sulit. 

Hal itu berlaku juga dalam bidang belajar berbahasa. Dalam konteks ini, berbahasa kreatif boleh saja dikatakan lebih ringan ketimbang berbahasa terikat (resmi). 

Sebab, anak-anak lebih dahulu mengenal berbahasa kreatif dalam relasi sosialnya, baik dalam keluarga, teman sepergaulan, sekolah, maupun masyarakat.

Barangkali guru memang harus menyiasatinya karena kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar sudah ada di kurikulum sejak pendidikan dasar di kelas rendah. 

Aturan-aturan berbahasa itu yang, diakui atau tidak, sering menghambat anak-anak mengembangkan keterampilan berbahasa. Sebab, sebelum mereka berada dalam kematangan berbahasa kreatif, sudah dihadapkan pada kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar, yang bersifat ilmiah.

Penyiasatan itu diperlukan sebab di samping anak-anak agar tetap dapat mengembangkan bahasa kreatifnya secara maksimal, mereka juga tetap merespon positif kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar untuk menjawab target kurikulum. 

Target kurikulum itu akan dihadapi anak-anak ketika ujian atau ulangan tiba. Dengan demikian, kebutuhan anak akan keterampilan berbahasanya berkembang secara kreatif dan ilmiah tetap mendapat ruang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun