Menyoal tradisi rusuh, inilah hasil dari kegagalan kader HMI memahami dialektika politik di era demokrasi. Jangan sekali-kali meragukan kapasitas intelektual aktivis HMI. Dialektika politik juga dialektika sejarah, dan para aktivis tentu sudah khatam sabda Fukuyama tentang ini. Akan tetapi sebagai praktisi, faktanya mereka tidak siap. Imbasnya dalam setiap musyawarah, para kader HMI penggembira (istilah konsensusnya Romli atau rombongan liar, yaitu anggota HMI non pengurus yang meramaikan musyawarah atau kongres HMI) diplot menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan. Pertanyaannya, mengapa kaum romli mau-mau saja dilibatkan dalam keributan? Ini tak lain dari doktrin senior aktivis mereka sendiri. Romli mempunyai karakteristik: usia muda, 20-25 tahun; mudah diprovokasi dan emosinya tidak stabil; masih sangat mematuhi senior; belum punya pemahaman cukup tentang realitas organisasi; dalam banyak hal romli diiming-imingi dengan imbalan uang atau jabatan dalam kepengurusan tingkat bawah.
Untuk itu pula tidak sulit memahami mengapa kongres HMI selalu rusuh. Dalam konteks tertentu HMI sekarang tidak berbeda jauh dengan geng tertentu yang sering melakukan kekerasan. Ditambah lagi anggota organisasi besutan Lafran Pane ini jumlahnya terus meningkat. Jumlah cabang HMI bahkan melebihi jumlah kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Maka ibarat geng Yakuza Yamaguchi-Gumi yang terkenal di Jepang dan baru saja mengalami perpecahan untuk yang kesekian kali. Perpecahan ini yang pasti disebabkan oleh kepentingan faksi-faksi yang yang tidak diakomodir. Jika tidak diredam hal ini akan semakin parah. Mungkin saja anarkisme kader HMI lebih menyeramkan dari yang pernah dibayangkan orang, dan pada akhirnya intelektual hanyalah kertas anggaran dasar yang menjadi pembungkus belaka dari wajah sebenarnya.
Bekasi, 26 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H