Kyai: Nah, kalau kampusmu saja ada aturan, apalagi dunia dan akhirat. Kalau surga diibaratkan ijazah, dunia adalah bangku kuliah, maka syahadat adalah pendaftaran awalnya. Tanpa pendaftaran awal, mustahil kita diakui dan dapat ijazah, sekalipun kita ikut kuliah dan mampu melaluinya dengan gemilang. Itu adalah aturan, menerapkannya bukanlah kejahatan, melainkan keadilan.
Ceritanya berhenti sampai di situ, mungkin supaya muncul efek kontemplatif pada pembaca ceritanya. Sayangnya, cerita tersebut berhenti sampai di situ saja. Padahal, lanjutan ceritanya itu begini:
Mahasiswa liberal itu terbungkam.
Dia merasa diam dan mengiyakan kyai kampung itu lebih bijak, apalagi dengan nada bicara kyai yang sudah memberat, seperti menahan emosi.
Dia maklum, kyai kampung itu belum seberuntung dia yang sudah mendapat kesempatan mengenyam pendidikan sehingga tahu cara untuk memperluas wawasannya.
Dia maklum kalau kyai kampung itu belum pernah dengar bahwa banyak mereka di luar sana yang diberikan titel oleh sebuah universitas karena karya dan prestasi mereka yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia, walaupun sama sekali tidak pernah mendaftar atau kuliah di tempat tersebut -titel yang mungkin hanya bisa dicapai oleh mahasiswa terdaftar setelah kuliah bertahun-tahun. Dia yakin kalau kyai kampung itu belum pernah dengar tentang Elon Musk yang mendapat gelar doktor dari Yale, atau Bill Gates yang diberi gelar doktor oleh universitas tempat dia pernah DO.
Dia juga maklum, jika pola pikir kyai kampung tentang tujuan utama pendidikan masih seperti warga kebanyakan; yang utama adalah mencari ijazah dan titel, bukan mencari ilmu; sebanding dengan maklumnya dia kepada mereka yang sedang berusaha ber'agama', tetapi hanya terpusat pada ritual-ritual, lambang-lambang, nama-nama, pengkultusan ego komunal, xenophobia, dan hal-hal superfisial lainnya, dibandingkan dengan tujuan agama sesungguhnya, yaitu kedamaian hati dalam kebajikan dan welas asih terhadap sesama.
Maka dia lebih memilih diam, meminta maaf dan mengiyakan sang kyai untuk meredakan emosinya, lalu sungkeman untuk menjaga 'muka' sang kyai, (ya dia paham teori Brown-Levinson tentang tindak tutur kesantunan menjaga muka lawan bicara) agar ego holier-than-thou sang kyai tidak kelaparan. Lebih baik begitu. Salah-salah kalau berusaha berargumen, dia dilempar dengan ad hominem atau digebukin orang sekampung karena dituduh murtad oleh sang kyai. Lebih bijak diam.
Lalu dia pun pamit, dengan lapang dada untuk dirinya sendiri, karena dia yakin, agama ada bukan semata-mata untuk mengancam dan menghukum, melainkan untuk menemukan kedamaian dalam diri.
Dan dia tetap yakin, bahwa surga selalu terjanjikan untuk mereka semua yang bertindak kebajikan tanpa pamrih, tidak peduli dia Muslim, Kafir Hindu, Kafir Kristen, Kafir Yahudi, Kafir Konghucu, Kafir Buddha, Kafir Baha'i, Kafir LGBT, Kafir Amin Richman, Kafir Laknatulloh-Muslim-tapi-bukan-Islam, dan juga kafir-kafir lainnya, bahkan mereka yang tidak ber-Tuhan sekalipun!
Jikapun Surga dan Neraka itu ada.