Mohon tunggu...
Pak De Bon
Pak De Bon Mohon Tunggu... -

Saya disuruh belajar menulis. Dengan ini saya belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lanjutan Cerita "Kyai Kampung vs Mahasiswa Liberal"

14 Februari 2016   01:14 Diperbarui: 9 Juni 2017   18:12 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini, beberapa kali bersliweran di medsos sebuah cerita 'inspiratif' berupa dialog.

Katanya jawaban seorang 'kyai kampung' tentang surga dan neraka membuat seorang mahasiswa liberal 'terbungkam'. Ceritanya saya salin dari link ini (http://www.kabarmakkah.com/2016/02/kenapa-orang-kafir-sebaik-apapun-tetap.html?m=1) sebagai berikut.

DIALOG ANTARA LIBERAL DAN KYAI KAMPUNG

Liberal: Ki, ada orang baik banget, anti korupsi, bangun masjid, rajin sedekah sampai hidupnya sendiri dikorbanin buat nolongin orang banyak, terus meninggal dan dia bukan Muslim, Dia masuk surga atau neraka?

Kyai: Neraka.

Liberal: Lah? Kan dia orang baik. Kenapa masuk neraka?

Kyai: Karena dia bukan Muslim.

Liberal: Tapi dia orang baik Ki. Banyak orang yang kebantu karena dia, bahkan umat Islam juga. Malah Bangun Masjid Raya segala. Jahat bener dah Tuhan kalau orang sebaik dia dimasukin neraka juga.

Kyai: Allah tidak jahat, hanya adil.

Liberal: Adil dari mane?

Kyai: Kamu sekolahnya sampai tingkatan apa?

Liberal: Ane mah Master Sains lulusan US Ki, kenape?

Kyai: Kenapa bisa kamu dapat titel Master Sains dari US?

Liberal: Yaa karena kemaren ane kuliah disana, diwisuda disana.

Kyai: Namamu terdaftar disana? Kamu mendaftar?

Liberal: Ya jelas dong Ki, ini ijazah juga masih basah.

Kyai: Sekiranya waktu itu kamu tidak mendaftar, tapi kamu tetap datang kesana, hadir di perkuliahan, diam-diam ikut ujian, bahkan kamu dapat nilai sempurna, apakah kamu tetap akan dapat ijazah?

Liberal: Jelas enggak Ki, itu namanya mahasiswa ilegal, sekalipun dia pintar, dia nggak terdaftar sebagai mahasiswa, kampus ane mah ketat soal aturan gituan.

Kyai: Berarti kampusmu jahat dong, ada orang sepintar itu tak dikasih ijazah hanya karena tidak mendaftar?

Liberal: *terdiam*

Kyai: Gimana?

Liberal: Ya nggak jahat sih Ki, itu kan aturan, salah si mahasiswa kenapa nggak mendaftar, konsekuensinya ya nggak dapat ijazah dan titel resmi dari kampus.

Kyai: Nah, kalau kampusmu saja ada aturan, apalagi dunia dan akhirat. Kalau surga diibaratkan ijazah, dunia adalah bangku kuliah, maka syahadat adalah pendaftaran awalnya. Tanpa pendaftaran awal, mustahil kita diakui dan dapat ijazah, sekalipun kita ikut kuliah dan mampu melaluinya dengan gemilang. Itu adalah aturan, menerapkannya bukanlah kejahatan, melainkan keadilan.

Ceritanya berhenti sampai di situ, mungkin supaya muncul efek kontemplatif pada pembaca ceritanya. Sayangnya, cerita tersebut berhenti sampai di situ saja. Padahal, lanjutan ceritanya itu begini:

Mahasiswa liberal itu terbungkam.

Dia merasa diam dan mengiyakan kyai kampung itu lebih bijak, apalagi dengan nada bicara kyai yang sudah memberat, seperti menahan emosi.

Dia maklum, kyai kampung itu belum seberuntung dia yang sudah mendapat kesempatan mengenyam pendidikan sehingga tahu cara untuk memperluas wawasannya.

Dia maklum kalau kyai kampung itu belum pernah dengar bahwa banyak mereka di luar sana yang diberikan titel oleh sebuah universitas karena karya dan prestasi mereka yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia, walaupun sama sekali tidak pernah mendaftar atau kuliah di tempat tersebut -titel yang mungkin hanya bisa dicapai oleh mahasiswa terdaftar setelah kuliah bertahun-tahun. Dia yakin kalau kyai kampung itu belum pernah dengar tentang Elon Musk yang mendapat gelar doktor dari Yale, atau Bill Gates yang diberi gelar doktor oleh universitas tempat dia pernah DO.

Dia juga maklum, jika pola pikir kyai kampung tentang tujuan utama pendidikan masih seperti warga kebanyakan; yang utama adalah mencari ijazah dan titel, bukan mencari ilmu; sebanding dengan maklumnya dia kepada mereka yang sedang berusaha ber'agama', tetapi hanya terpusat pada ritual-ritual, lambang-lambang, nama-nama, pengkultusan ego komunal, xenophobia, dan hal-hal superfisial lainnya, dibandingkan dengan tujuan agama sesungguhnya, yaitu kedamaian hati dalam kebajikan dan welas asih terhadap sesama.

Maka dia lebih memilih diam, meminta maaf dan mengiyakan sang kyai untuk meredakan emosinya, lalu sungkeman untuk menjaga 'muka' sang kyai, (ya dia paham teori Brown-Levinson tentang tindak tutur kesantunan menjaga muka lawan bicara) agar ego holier-than-thou sang kyai tidak kelaparan. Lebih baik begitu. Salah-salah kalau berusaha berargumen, dia dilempar dengan ad hominem atau digebukin orang sekampung karena dituduh murtad oleh sang kyai. Lebih bijak diam.

Lalu dia pun pamit, dengan lapang dada untuk dirinya sendiri, karena dia yakin, agama ada bukan semata-mata untuk mengancam dan menghukum, melainkan untuk menemukan kedamaian dalam diri.

Dan dia tetap yakin, bahwa surga selalu terjanjikan untuk mereka semua yang bertindak kebajikan tanpa pamrih, tidak peduli dia Muslim, Kafir Hindu, Kafir Kristen, Kafir Yahudi, Kafir Konghucu, Kafir Buddha, Kafir Baha'i, Kafir LGBT, Kafir Amin Richman, Kafir Laknatulloh-Muslim-tapi-bukan-Islam, dan juga kafir-kafir lainnya, bahkan mereka yang tidak ber-Tuhan sekalipun!

Jikapun Surga dan Neraka itu ada.

Atau mungkin surga itukah damai dalam hati yang dia rasakan ketika berbuat kebajikan, dan panasnya neraka adalah panasnya hati ketika menebar kebencian?

Mahasiswa liberal itu pun pamit, pulang ke rumahnya, untuk kembali bekerja karena liburannya sudah selesai. Dia naik sepeda motor dengan headphones di balik helm terpasang ke handphonenya, memutar lagu Red Hot Chili Peppers - Shallow Be Thy Game, dan seirama dengan Kiedis dia bersenandung lirik lagu itu:

"Your hell is something scary, I prefer a loving God."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun