(Untuk yang malas googling: Jurnalisme kuning : tipe jurnalisme sensasional yang menyajikan fakta yang belum/tidak diteliti secara benar, dan menggunakan judul-judul yang WAH untuk menjual beritanya. Salah satu teknik jurnalisme ini dengan membesar-besarkan sebuah berita dengan menambah bumbu-bumbu penyedap sensasional. Contoh : penyebutan julukan IRON MAN untuk Pak Tawan dan memirip-miripkan Pak Tawan dengan Tony Stark. kok iron man sih. miripan HULC di elysium deh. wartawannya kupdet nonton sci-fi)
Tetapi selain menyalahkan media, kebohongan yang tetap dipertahankan oleh Pak Tawan juga tidak patut diapresiasi. Pandangan saya beberapa hari lalu bahwa Pak Tawan adalah seorang yang polos dan lugu -korban media yang terpaksa berbohong karena tuntutan mereka- sudah berubah, ketika menonton berita dimana dia menyatakan tetap memerlukan 'bantuan' untuk 'memperbaiki' sensor otaknya yang rusak kena tetesan air hujan. Seolah bantuan 50 juta rupiah -that's the taxpayers' money we're talking about- yang diberikan oleh Pak Gubernur kemarin belum cukup.
Gubernur Bali, selayaknya pejabat pelayan publik, kemarin sudah tanggap mengungkapkan kesiapannya memfasilitasi kebutuhan medis Pak Tawan, serta mengerahkan tim ahli dari universitas untuk menangani penelitian tentang 'karya' Pak Tawan. Dengan masih mengharapkan "sumbangan dermawan" dan sebagainya -seperti terlihat di video tersebut- saya rasa, niat baik Pak Gubernur sudah dilangkahinya dengan keserakahannya. Saya tidak berani membayangkan kemarahan dan sakit hati Gubernur Bali kepada Pak Tawan jika nanti kebohongan ini betul-betul terungkap. Sekarang, ya, biarkan saja Pak Tawan menikmati popularitasnya - beserta segala keuntungan finansial yang dia peroleh dari semua omong kosong ini. Mumpung lagi tenar!
Tapi tetap saja, setelah semua hulabalu ini berakhir, saya ingin dibuatkan kostum cosplay eksoskeleton buatan pak tawan itu. Desain Pak Tawan memang keren!
TAHI SAPI
Beberapa hari yang lalu, ketika sedang berdebat di status fb saya tentang keaslian tangan Pak Tawan, seorang pendebat berargumen dengan kesesatan logika melemparkan burden of proof ke saya. Kalau kamu gak percaya, datang saja sendiri ke sana dan buktikan!
Saya berargumen dengan santai, tapi mungkin, tidak terdengar santun "Ada kalanya kita gak usah sampai menyentuh tahi untuk tahu kalau itu tahi," dalam komen gambar ini :
Tidak, saya menghargai tahi sapi. Tahi sapi itu salah satu ciptaan Tuhan yang paling indah. Tahi sapi itu berguna untuk kehidupan kita. Dia bisa dijadikan pupuk, yang menyuburkan pohon yang memberi kita buah untuk dimakan. Dia bisa dipakai melempar Jeoffrey Baratheon. Ya, tahi sapi is love. Tahi sapi is life.
Cuma masalahnya, tahi sapi itu bukan untuk ditelan mentah-mentah. Apalagi dimakan jamurnya. Memang katanya sih, jamurnya nikmat -layaknya euforia kebanggaan nasionalisme itu- membuat kita merasa terbang. Tapi pernah lihat bagaimana gobloknya orang yang sedang mabuk fly habis makan jamur tahi sapi?
Begitu juga hoax. Hoax adalah fenomena alami, sama alaminya dengan tahi sapi. Tidak harus dibenci. Jijik boleh. Jangan benci ya. Bagaimana dengan "lengan robotik kendali EEG" ini? Saya melihatnya sebagai sebuah tumpukan tahi sapi yang besar.