Pakde Kartono : No peserta 69
Dina selalu teringat kata-kata RA Kartini dalam bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang" di mana dikatakan "Adakah yang lebih hina, daripada bergantung kepada orang lain?" Kata-kata ini menjadi pegangan Dina dalam menjalani kerasnya hidup dan kejamnya dunia.
Dina adalah seorang janda muda, usianya 27, anaknya 3. Suami Dina meninggal karena kecelakaan di pintu perlintasan kereta, tertabrak kereta akibat ia berusaha menerobos pintu palang kereta yang mulai tertutup, namun roda motornya terantuk lubang besar dan suaminya rebah bersama motor yang belum lunas kreditnya. Suaminya tewas di tempat, wajahnya penuh luka, tulang-tulang tubuhnya patah jadi lima.
Saat Dina mendengar kabar kematian suaminya, ia sedang hamil tua anak ketiga. Dina menjerit histeris, berteriak seperti orang gila, tidak percaya suaminya yang sangat dicintainya pergi tiba-tiba, padahal paginya sebelum berangkat kerja, mereka sempat bercengkerama dan suaminya mengatakan ingin mengajak Dina liburan berdua ke Pulau Pramuka di kepulauan Seribu, mereka akan berenang, menyelam, memancing ikan dan menginap di villa, menunggu tembus pasangan togel 4 angka yang setiap malam dipasang suaminya di Koh Akew, bandar togel pemilik warung kopi di ujung jalan.
Sejak suaminya meninggal, ada beberapa pria berusaha mendekat untuk mengisi kekosongan hati dan ranjang Dina. Ia bergeming. Hati dan pikirannya masih selalu ke mas Doni, suaminya yang telah memberi 3 anak dan ribuan enak.
Para pria ini menawarkan kehidupan yang nyaman, mungkin juga masa depan yang aman, sehingga Dina tidak perlu bekerja keras membanting tulang, memeras keringat, memutar otak, memendam birahi setiap hari demi rupiah. Dina menampik semua itu.
Baginya pria-pria ini hanya mencintai dirinya, tubuhnya, tidak akan pernah bisa mencintai anak-anaknya. Lagipula, kalo ia menikah lagi, ia tak mampu membayangkan kesedihan mas Doni di alam sana, melihatnya setiap malam di peluk, cium dan setunuhi pria lain.
Dina masih yakin seyakin-yakinnya, suaminya hanya mati raganya, tidak jiwanya. Cinta Dina dan Doni yang terjalin sejak SMA, terlalu kuat untuk dipisahkan oleh sebuah kematian. Cinta mereka tetap hidup, melintasi jaman, melintasi alam.
Malah sering timbul keinginan kuat di diri Dina, ia ingin mati segera, meninggalkan dunia, meninggalkan anak-anaknya, toh anak-anaknya akan diurus oleh negara sesuai amanat pasal 34 UUD 1945, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, agar supaya Dina dan Doni bisa bersama selama-lamanya di alam sana, bukan seperti di bumi yang sifatnya sederhana.
Anton, pemilik toko beras di pasar kampung, yang sudah berusia kepala 5 tapi belum menikah pernah mengatakan "Dina, maukah kamu jadi istriku, akan kubuatkan 1 toko beras untukmu, sehingga kamu gak perlu hidup susah seperti saat ini."
Budi, pemilik salon di jalan lintas kota, yang tobat dari sifat gay dan mau hidup normal pernah mengatakan "Din, aku gak mau jadi gay lagi. Aku mau hidup normal, punya istri dan anak-anak. Hanya kamu yang aku suka, aku cinta, mau kah kamu menikah denganku? Kalo kamu mau, kita rayakan pernikahan kita besar-besaran."
Iwan, lurah kampung sebelah, yang sudah menduda selama 1 dasawarsa, sudah lama naksir berat Dina sejak Doni masih ada, pernah mengatakan "Sebenarnya aku gak mau menikah lagi, tapi kalo melihat kamu lewat depan rumah, keinginan menikah lagi otomatis timbul. Mau yah Din menikah denganku. Aku akan bahagiakan kamu seperti Doni membahagiakan kamu."
Banyak penawaran-penawaran lain dari pria-pria, ada yang beristri ada yang bujang, ada yang hidungnya polos, beberapa berhidung belang. Dari semua penawaran itu, Dina selalu menolak hanya dengan 1 jawaban "Maaf mas, bukan aku menolak rejeki dan dicinta oleh mas, tapi aku belum bisa melupakan mas Doni. Kalopun aku menikah lagi, pria itu aku pastikan hanya Pakde Kartono seorang, kompasianer ganteng, pintar, humoris dan mapan, yang selalu kuikuti tulisan-tulisannya di kompasiana, yang mampu membuatku semyum-senyum sendiri, menghiburku di kala gundah gulana, galau dan risau. Kepada pria lain aku sudah menutup pintu hati, mohon maaf sekali lagi mas. Tidak selamanya mendung itu kelabu, tidak selamanya janda itu lugu, sekali-kali gpp kan janda belagu. Masa depan bukan mainan, dan aku gak mau main-main dengan banyak pria, sampai aku menemukan 1 pria idaman, kalo bukan Pakde Kartono, yang mirip 11 12 pun tak mengapa. Aku mau seperti Ibu Kartini, yang merasa hina jika harus bergantung ke orang lain, apalagi tanpa cinta."
Salam Rumpies
[caption id="attachment_411338" align="alignnone" width="616" caption="Foto dari kompasiana.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H