Diobrak-abrik Dok.Pri
Sebelum saya paparkan panjang lebar kronologi permasalahan ini alangkah baiknya saya perkenalkan terlebih dahulu profil sosok “provokator” atau “dalang” dibalik peristiwa tersebut.
PROFIL PROVOKATOR
Pertama seorang tokoh pemuda,namanya Udik, usia sekitar 40 tahunan tokoh pemuda ini yang paling “beringas” mengobrak-abrik rumah saya. Pemikirannya tidak seudik namanya, nama aslinya Yudianto.
KRONOLOGI
Beberapa tahun yang lalu saya mendapat kiriman paket dari BTP—meskipun bukan paket bom, tapi jika diaktifkan cukup menggelegar dan menggetarkan dan bisa memekakkan telinga tetangga.
Catat, BTPyang saya maksud disini bukan BTP yang sedang mengguncang jagat perpolitikan republik ini, tapi BTP yang lain, yakni Basuki Tukang Potret. Itu lho Kompasianer Malang yang menggunakan akun aremangadas alias Mas atau Mbah Ukik. Jadi, apa hubungannya dengan peristiwa penyerbuan tersebut?
MEMORI CARD
Saya selain mendapat kiriman paket buku-buku dari Mas Ukik juga mendapat kiriman sekeping benda kecil seukuran tidak lebih dari 2 cm tersebut. Meski ukurannya kecil tapi isinya—ini biang kerok penyebab rumah saya diserbu warga—ratusan gending-gending Jawa, Canpur Sari, Keroncong dan masih banyak lagi.
Setelah saya mendapat kiriman kartu memori dari BTP tersebut, nyaris setiap hari ada suara menggelegar dari speaker rumah saya, inilah awalnya kenapa warga menyerbu rumah saya.
Memang agak didramatisasi. Sesungguhnya bukan masa dan menyerbu, hanya beberapa tokoh dan pemuka masyarakat Korong (setingkat Kepala Dusun) Suka Mananti. Tetapi mengenai pengrusakan dan pengobrak-abrikan rumah saya itu memang betul-betul terjadi—tunggu pada postingan berikutnya.
“Pak Dhe kami sebagai tetangga merasa kebrebegen (bising) setiap hari mendengar suara gleger gong dan gemerincing gender dan siter yang muncul dari speaker Pak Dhe” celetuk salah satu tetangga saya yang paling dekat bernama Suroso alias Roso.
“Jadi maksudnya kurang senang karena mengganggu ketenangan sampeyan atau bagaimana?”jawaban, langsung pertanyaan dari saya.
“Maksud saya begini, bagaimana jika suara itu tak hanya terdengar dari pengeras suara Pak Dhe, tapi suara gending-gending tersebut benar-benar muncul dari gamelan yang kita pukul dengan tangan kita sendiri”sambung Roso.
“Artinya?”tantang saya.
“Kita bikin gamelan sendiri dan membentuk paguyuban atau grup karawitan, bagaimana menurut Pak Dhe?”
Seperti kucing ditawari ikan asin, langsung saya sergap saja.
“Kokndhakdari dulu-dulungajakbegini, saya sebetulnya ingin sekali menghidupkan kembali nyala budaya yang mulai redup ini, tapi agak ragu apakah ada yang mau, lantaran kita berada pada komunitas yang berbudaya Minang”
“Justru banyak orang Minang yang mau ikut Pak Dhe, salah satunya adalah Pak Denis Kurniawan Kepala Korong (Kepala Dusun) tak hanya mendukung, beliau malah menganjurkan membentuk organisasi dan beliau minta dijadikan sebagai salah satu pengurusnya.”
“Ya sudah kalau begitu ibarattumbu oleh tutup, besok kita rembug matang-matang bersama teman-teman yang lain.”
Itulah awal dari “perusakan” rumah saya, dan dari situ jugalah saya menjadi kurang aktif di Kompasiana maupun sosmed lainnya. Namun dari sini pulalah saya mendapat banyak ide atau bahan tulisan untuk menulis (kembali) di Kompasiana. Semoga.
Bersambung.......Semangatnya Tidak Sekeropos Gamelannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H