Selesai sudah bahan tayang yang aku buat. Lega tentunya, setelah semalaman saya mempersiapkan bahan tayang dan materi. Hari itu kebetulan saya mendapat tugas untuk mengajar sebuah pelatihan. Selain bahan tayang semua perangkat untuk mengajar  sudah saya siapkan. Kertas plano, kertas warna, spidol untuk menunjang pembelajaran sudah saya beli dan saya masukan dalam tas hitamku. Tidak ketinggalan karet gelang dan bola plastik untuk keperluan ice breaking.  Saatnya menyiapkan diri dengan mandi air hangat.
 Aku pacu kendaraan ke sebuah rumah makan tempat pelaksanaan pelatihan tersebut. Pelatihan tersebut memang berada di sebuah aula rumah makan. Sebuah instansi pemerintah mengontak saya untuk menyampaikan materi terkait dengan etos kerja. Aku masuki aula rumah makan dengan mantap. Seandainya ada alat ukur yang mampu memvisualkan rasa percaya diri, bisa jadi rasa percaya diri saya sebesar kepala kerbau.
Usai sudah pelatihan etos kerja. Rasa puas dan bangga terbersit dalam hati. Tepuk tangan dan antusias peserta masih membekas dalam ingatan ini. Bagaimana tidak bangga, mengajar adalah pekerjaan mulia. Dalam sebuah khutbah jumat seorang khotib pernah mengatakan orang yang harus bersyukur adalah orang yang selalu menyebar ilmu pengetahuan. Sebuah pekerjaan yang sangat luar biasa bagi saya. Apalagi mengajar juga merupakan hobi bagi saya. Saya lahir dari keluarga guru. Sejak kecil orang tua saya juga membiasakan diri untuk mau berlatih bicara didepan umum.
Saat saya masih membayangkan dan mengingat apa yang baru saja saya lakukan, mataku tertuju kepada tumpukan sebuah majalah. Ada satu majalah yang terbuka. Sebuah judul artikel tertangkap oleh mata bulat nan cerah ini. "Perjuangan seorang Veteran". Judul yang menarik untuk dibaca. Bisa jadi istriku baru membaca majalah itu dan lupa untuk menutupnya. Aku buka majalah itu, baris demi baris aku baca artikel tersebut. Tak terasa air mataku meleleh. Jiwa kesatriaku seakan tercabut dan berubah menjadi seorang yang cengeng.
Artikel tersebut menceritakan kisah seorang veteran perang pada masa revolosi dengan Belanda dan Jepang. Sebuah kisah heroik dan penuh pengorbanan. Dalam artikel tersebut diceritakan saat berjuang melawan  penajajah Belanda dia harus meninggalkan anak dan istri. Tidak hanya itu harta pun kadang harus dikorbankan demi perjuangan tersebut. Dua ekor kambing yang dia miliki harus dibawa sebagai bekal selama ikut perang gerilya. Cap eksrimis dan radikal melekat pada dirinya.Â
Cap ini tidak hanya didapatkan dari para penjajah. Tidak sedikit tetangga atau teman yang memilih menjadi kacung belanda juga memberikan cap ekstrimis dan radikal. Kisah semakin mengharukan bila melihat hidup veteran saat ini Perjuangan yang berdarah-darah penuh pengorbanan ternyata tidak sebanding dengan apa yang dia dapatkan setelah kemerdekaan Indonesia teraih. Di masa tuanya dia masih harus berjuang sekedar untuk mendapatkan uang untuk makan.
Rasa banggaku seakan tercabut setelah membaca artikel tersebut. Perasaan bahwa diri ini penuh dengan jasa seakan hilang tanpa bekas. Diri ini merasa belum berbuat apa-apa untuk negeri ini. Bahkan timbul pertanyaan apakah yang selama ini saya lakukan betul-betul  untuk negeri ini, atau jangan-jangan apa yang saya lakukan sebetulnya untuk diri dan keluarga saja. Jangan-jangan motivasi saya mengajar bukan untuk menjadikan orang pintar akan tetapi sekedar untuk mendapatkan beberapa lembar uang.
Perasaan jauh dari pengorbanan semakin menjadi, saat mengingat saya sering mengeluh saat melatih tapi tidak mendapat honor. Padahal setiap bulan gaji dan tunjangan sudah saya dapatkan. Semakin miris saat mengingat aku pernah marah dan tidak mau mengisi tanda tangan dan mencoret selembar kuitansi hanya karena sang petugas salah dalam mengetik.Â
Kesalahan ketik yang juga sering terjadi pada diri kita. Padahal petugas tersebut hanyalah tenaga honorer dengan honor yang tidak seberapa. Maka sudah pantaskan kalau aku menganggap aku seorang pejuang. Atau justru aku termasuk orang-orang yang merusak negeri ini. Atau bahkan aku termasuk perampok negeri ini dengan dalih program-program pelatihan yang aku lakukan.
Hati semakin pilu saat mengingat sabda Rasululah  dalam sebuah hadits panjang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah:
Dari Utbah bin 'Abad As-Salmiy bahwasannya Rasulullah bersabda,
"Orang yang gugur (di dalam peperangan) itu ada tiga, orang beriman yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, hingga ketika bertemu musuh ia memerangi mereka sampai terbunuh;maka ia adalah asy-syahid mumtahan, ia berada di jannah di bawah Arsy, para nabi tidak memiliki kelebihan darinya selain karena kelebihan kenabian.Â
Kemudian seseorang yang mengkhawatirkan dirinya lantaran dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya, ia berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, hingga ia ketika bertemu musuh ia berperang sampai terbunuh,maka ia adalah al-mumashmishoh; dosa dan kesalahannya dihapuskan, sesungguhnya pedang itu mampu menghapus dosa-dosa, kemudian ia dipersilahkan masuk jannah dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Sesungguhnya jannah itu memiliki delapan pintu.Â
Pintu jannah yang satu lebih utama daripada pintu yang lain. Kemudian ada orang munafik yang berjihad dengan jiwa dan hartanya, hingga ketika ia bertemu musuh ia berperang di jalan Allah sampai terbunuh, ia berada di neraka, karena pedang tidak bisa menghapus kemunafikan." (HR. Ahmad dengan isnad jayyid, Thabraniy dan Ibnu Hibban)
Jangan-jangan aku termasuk orang yang ketiga, orang berjuang bukan dengan niat yang benar. Orang yang berjuang hanya untuk kepentingan pribadinya. Kalau seperti itu masih pantaskah saya berpikir saya telah berjuang untuk negeri ini. Bahkan sangat mungkin apa yang saya lakukan belumlah seberapa dengan apa yang dilakukan oleh guru yang selama ini menjadi peserta pelatihan.Â
Teringat saya dengan sebuah buku karangan seorang guru. Seorang ibu guru yang memilih mengajar disebuah pulau kecil di Madura yang penuh kelelawar. Dia tinggal di pulau kecil itu bersama dengan anaknya. Suaminya tetap tinggal di Madura. Paling cepat dia baru bisa kembali ke Madura satu minggu sekali, mengingat hanya ada satu kali pelayaran dari pulau tersebut menuju madura.Â
Sebenarnya dia sudah  mendapatkan tawaran pindah ke Madura. Apabila dia mau menerima tawaran pindah, dipastikan dia akan selalu bersama dengan suaminya. Tapi wajah-wajah polos anak didiknya terasa berat untuk dilupakan, maka dia memilih untuk tetap mengajar di pulau yang penuh kelelawar tersbut. Sebuah kisah yang diabadikan dalam buku "Batman Teacher".
Akhirnya aku akhiri malam itu dengan berkata lirih "Aku bukan seorang Pejuang" bahkan ada perasaaan kuatir aku adalah seorang pecundang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H