Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Masih Takut Menikah? Simak Data Ini!

17 Oktober 2024   08:14 Diperbarui: 17 Oktober 2024   09:17 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam postingan sebelumnya, telah saya sampaikan delapan ketakutan terkait pernikahan yang melanda generasi Z. Sebuah ketakutan yang menjalar seiring maraknya postingan di media sosial. Simak kembali ulasannya di sini.

Salah satu dari ketakutan yang mereka miliki adalah takut kehilangan kebebasan. Selama menjadi lajang, mereka terbiasa mengekspresikan kebebasan. Namun begitu menikah, khawatir  tak bisa lagi menikmati indahnya kebebasan itu; karena terikat komitmen seumur hidup.

Di sisi lain, mereka juga takut kehilangan cinta. Mungkin sebelum menikah dan di awal pernikahan, cinta itu begitu nyata. Namun mereka takut tak bisa menjaganya di sepanjang kehidupan pernikahan.

Mereka tidak sadar, bahwa itu adalah dua ketakutan yang paradoks. Menghendaki kebebasan sepenuhnya dalam pernikahan, sama artinya dengan menghindari komitmen. Padahal, cinta itu muncul dan dijaga dengan komitmen. Mustahil bisa menjaga cinta, jika tidak bersedia memberikan komitmen.

Sebagaimana dinyatakan Kate Kerrigan dalam bukunya Recipes for a Perfect Marriage (2002), cinta identik dengan komitmen. Kerrigan menyatakan, "You can make a commitment to love, but you cannot truly love without commitment. Anda bisa membuat komitmen terhadap cinta, tapi Anda tidak bisa benar-benar mencintai tanpa komitmen".

Pernikahan Memberikan Banyak Benefit Bagi Laki-laki

"Married men are healthier and happier than unmarried men, and they also live longer and earn more money. This is the case even for men in mediocre marriages. Whereas for women, marital benefits are tied more strongly to marital quality" (Nicole Sheehey, 2022).

Di antara pertimbangan penting bagi laki-laki dalam mengatasi ketakutan menikah adalah mitigasi dampak. Banyak studi menunjukkan, pernikahan telah memberikan sangat banyak dampak positif dan benefit, terutama kepada kaum laki-laki.

Nicole Sheehey (2022) mengutip hasil sebuah studi menyatakan, lelaki yang menikah lebih sehat dan bahagia dibandingkan lelaki yang belum menikah. Melalui pernikahan, laki-laki diketahui hidup lebih lama dan menghasilkan lebih banyak uang.

Bahkan kondisi itu terjadi pada laki-laki yang memiliki perkawinan biasa-biasa saja. Tidak harus bernilai istimewa atau sempurna untuk mendapatkan kondisi sehat, bahagia, panjang umur, dan sejahtera tersebut. Artinya, kaum laki-laki hendaknya memahami bahwa dampak pernikahan sangat menguntungkan bagi dirinya.

Sosiolog Steve Nock menyatakan, pernikahan mengubah laki-laki secara mendasar. Dalam bukunya Marriage in Men's Lives (1998), Nock menyatakan bahwa setelah menikah laki-laki mulai melihat diri mereka sebagai ayah, pemberi nafkah, dan pelindung bagi keluarga.

Perubahan identitas ini dikaitkan dengan perubahan perilaku. Misalnya, laki-laki mendapatkan lebih banyak pendapatan ketika mereka menikah, bekerja lebih banyak, menghabiskan lebih sedikit waktu dengan teman-teman selain dari keluarga, dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga dan di masyarakat tempat keluarga itu berada.

Inilah diantara benefit yang didapatkan laki-laki. Pernikahan mendorong mereka untuk lebih sejahtera karena bisa mendapatkan pendapatan lebih besar, demi merawat keluarga.

Pernikahan Memberikan Banyak Benefit Bagi Perempuan

"The 2022 edition of the General Social Survey (GSS)---the nation's preeminent social barometer---reveals that marriage and family are strongly associated with happiness. The GSS shows that a combination of marriage and parenthood is linked to the biggest happiness dividends for women" (Wilcox & Wang, 2023).

Bagi perempuan, manfaat pernikahan tidak kalah membahagiakan. Sebuah survei dari General Social Survey (GSS) tahun 2022 mengungkapkan bahwa pernikahan dan keluarga sangat terkait dengan kebahagiaan. GSS menunjukkan bahwa kombinasi pernikahan dan peran sebagai orang tua dikaitkan dengan manfaat kebahagiaan terbesar bagi perempuan (Wilcox & Wang, 2023).

Di antara perempuan yang sudah menikah dengan anak-anak berusia antara 18 dan 55 tahun, 40% melaporkan bahwa mereka "sangat bahagia," dibandingkan dengan 25% perempuan yang sudah menikah dan tidak memiliki anak, dan hanya 22% perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki anak.

Sedangkan ibu yang tidak menikah (misalnya mengasuh anak adopsi) hanya 17% dari mereka yang menyatakan sangat bahagia. Sangat jelas perbedaan faktor menikah dan tidak menikah, yang memberikan sumbangan terhadap hadirnya kebahagiaan.

Hasil ini sejalan dengan temuan GSS dari tahun 2020 dan 2021 yang menemukan bahwa perempuan yang menikah dan memiliki anak pada umumnya adalah yang paling bahagia dan paling tidak kesepian (Wilcox & Wang, 2023). Tidak ada alasan untuk memiliki ketakutan berlebihan tentang pernikahan apabila mengetahui betapa banyak kebahagiaan bisa diberikan oleh pernikahan.

Pernikahan Adalah Pembeda Kebahagiaan

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sam Peltzman dari Universitas Chichago (2023) menunjukkan adanya kebahagiaan signifikan yang muncul dari pernikahan. Hasil penelitian menyatakan bahwa bagi laki-laki dan perempuan, pernikahan adalah "the most important differentiator" atau pembeda terpenting yang menentukan kebahagiaan.

Sementara itu, tingkat pernikahan yang menurun adalah alasan utama mengapa kebahagiaan menurun secara nasional. Penelitian tersebut juga menemukan kesenjangan kebahagiaan sebesar 30 % antara orang yang menikah dan yang tidak menikah. Sebuah selisih yang sangat signifikan.

Dari berbagai studi ini, harusnya sudah cukup menjadi alasan bagi generasi Z untuk memutuskan menikah. Benar, ada jenis pernikahan tertentu yang menakutkan. Namun itu jumlahnya seditkit dibanding pernikahan yang membahagiakan dan memberikan banyak benefit.

Masihkah takut menikah? Tidak masuk akal.

Bahan Bacaan

Brad Wilcox & Wendy Wang, Who Is Happiest? Married Mothers and Fathers, Per the Latest General Social Survey, https://ifstudies.org, 12 September  2023

Nicole Sheehey, What Is The Biggest Fear In Marriage? https://helloprenup.com, 4 Desember 2022

Sam Peltzman, The Socio Political Demography of Happiness, https://papers.ssrn.com, 12 Juli 2023

Steve Nock, Marriage in Men's Lives, Oxford University Press, 1998

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun