Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Nikah Bukanlah Maut

9 Agustus 2024   07:19 Diperbarui: 9 Agustus 2024   07:25 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Some marriages are so constraining or frightening or dangerous that the only reasonable response is escape" --Michael Karson, 2020.

Beberapa waktu belakangan ini marak kasus suami membunuh istri, maupun istri membunuh suami. Kita ingat kasus istri yang membakar suaminya akibat judi online. Ada istri yang menusuk suami hingga mati. Ada pula istri yang melakukan pembunuhan berencana dengan membayar eksekutor untuk membunuh suaminya.

Diberitakan pula seorang suami tega membunuh istrinya di kamar hotel. Ada lagi suami membunuh istri yang tengah hamil 2 bulan. Ada pula suami membunuh istri yang tengah hamil 6 bulan. Juga ada suami membunuh istri yang sedang hamil 8 bulan.

Semua berita miris tersebut, dengan sangat mudah kita jumpai di situs berita online. Tinggal memasukkan kata kunci ke mesin pencari, langsung keluar semua hasilnya. Sangat mengerikan dan menyedihkan.

Mengapa Pernikahan Berujung Maut?

Pernikahan seharusnya membahagiakan dan memberdayakan. Namun tak jarang pernikahan justru menjadi penjara mental yang sangat menakutkan. Itu sebabnya ada banyak suami atau istri ingin melarikan diri dari penjara ini.

Michael Karson, seorang psikologi klinis dan forensik, profesor di Pascasarjana Psikologi Universitas Denver, sekaligus penulis buku bertema keluarga dan kesehatan mental, menyatakan "Beberapa pernikahan begitu mengekang, menakutkan atau berbahaya sehingga satu-satunya respons yang masuk akal adalah melarikan diri".

Karson menengarai banyaknya pasangan yang tak nyaman dalam kehidupan pernikahan. "Many people would say their marriage is a prison, the defining characteristics of which are the desire to escape --whether in search of freedom or out of pride; and an unsettled sense of self --so often expressed in bad dreams" (Michael Karson, 2020).

"Banyak orang mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah sebuah penjara, yang ciri-cirinya adalah keinginan untuk melarikan diri --entah untuk mencari kebebasan atau karena harga diri; dan perasaan gelisah --sering kali muncul dalam mimpi buruk," ujar Karson.

Di antara penjara yang mengurung suami dan istri adalah budaya dan harapan masyarakat. "The bars of many marital prisons are composed of images from one's family, culture, or media outlets about what marriage is supposed to look like. Jeruji di banyak penjara perkawinan terdiri dari perspesi dari keluarga, budaya, atau media tentang seperti apa seharusnya pernikahan itu," lanjut Karson.

Setelah menikah, laki-laki dan perempuan bukan saja terikat oleh hak dan kewajiban. Namun mereka juga terikat oleh budaya dan persepsi masyarakat, bahkan media. Terlebih di zaman di mana medsos telah menjadi media publik, sorotan netizen sering kali berubah menjadi jeruji besi yang menakutkan.

Ada standar tentang keluarga bahagia yang diciptakan oleh media sosial. Postingan tentang romantisme di youtube, tiktok, instagram, threads, X dan beragam media lainnya, menjadi tekanan bagi banyak keluarga. Seakan mereka menjadi tidak bahagia karena tidak sama dengan postingan di sosial media.

Problem ekonomi turut mendukung hadirnya penjara tersebut. Banyak keluarga berantakan karena dipicu persoalan ekonomi. Kasus polisi wanita yang membakar suaminya, rupanya dipicu oleh judi online dan sikap tidak transparan suami dalam pengelolaan sumber keuangan.

Demikian pula kasus perselingkuhan yang marak terjadi di berbagai kalangan masyarakat, turut menyumbang "donasi" ke "rekening emosional" pernikahan. Suami cemburu, menuduh istri selingkuh. Istri cemburu, menuduh suami selingkuh. Ujung-ujungnya adalah keributan, perceraian, bahkan pembunuhan.

Selayaknya suami istri selalu melakukan evaluasi diri maupun evaluasi keluarga. "When your marriage feels like a prison, that's a cue to look in the mirror and ask yourself if you belong in prison. Ketika pernikahan Anda terasa seperti penjara, itu adalah isyarat untuk bercermin dan bertanya pada diri sendiri apakah Anda pantas berada di dalam penjara?" ungkap Karson.

Kembali Kepada Visi dan Motivasi

Membentuk sebuah keluarga bahagia, awalnya adalah pertemuan seorang lelaki dan seorang perempuan dalam ikatan sakral pernikahan. Mereka berproses melalui serangkaian tahapan, berinteraksi dengan penuh kehangatan, hingga akhirnya menemukan chemistry penyatuan jiwa dari dua insan yang memiliki banyak perbedaan.

Berbagai perbedaan tidak membuat mereka menjadi saling membenci. Berbagai pertengkaran kecil tidak membuat mereka menjadi saling menyakiti.

Ketika mereka menjadi pasangan yang serasi dan bahagia, maka suasana keluarga menjadi penuh kedamaian dan keceriaan. Dari sinilah tumbuh anak-anak yang dididik dengan pendidikan terbaik, mendapatkan cinta terbaik, mendapatkan sentuhan terbaik, mendapatkan perhatian terbaik.

Anak-anak berkembang dalam suasana penuh cinta dan kasih sayang, terjauhkan dari kekerasan dan tekanan negatif orang tua. Mereka mendapatkan contoh keteladanan dalam kehidupan keseharian.

Kondisi keharmonisan keluarga, harus dimulai dari kejelasan visi dan motivasi. Perhatikan visi keluarga dalam masyarakat yang religius, "Menggapai surga dunia dan surga akhirat, bersama seluruh anggota keluarga".

Konsekuensi dari pernyataan visi di atas sangat dahsyat. Jati diri sebagai keluarga surga adalah sangat mulia dan sangat indah. Apakah ada kemuliaan dan keindahan melebihi surga?

Terlebih saat menjawab pertanyaan, "Akan dibawa ke mana keluarga Anda?" Jawabannya adalah surga dunia dan surga akhirat. Artinya, surga dunia didapat, surga akhirat diharap.

Hendaknya visi dan motivasi diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi telah menyatakan bahwa yang memandu keluarga menuju surga adalah kiebersamaan dan kekompakan. Suami dan istri kompak bersikap, bertindak, berperilaku, bertutur kata, yang akan menghantarkan semua anggota keluarga ke surga.

Di dalam Al-Qur'an, dinyatakan syarat agar bisa masuk surga bersama semua anggota keluarga adalah iman. Ini berfungsi sebagai fondasi.

"Dan orang-orang beriman, berserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan. Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga) dan kami tidak mengurangi sedkitpun pahala amal (kebajikan) mereka" (QS. Ath-Thur: 21).

Mari kokohkan visi, luruskan motivasi. Dinginkan hati, jernihkan pikiran, tenangkan perasaan. Semua masalah bisa diselesaikan asalkan pasangan suami istri bersedia untuk saling beradaptasi, berdiskusi, dan berkompromi.

Bahan Bacaan

Michael Karson, How to Make Your Marriage a Prison, https://www.psychologytoday.com, 1 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun