Beberapa bulan sebelum Pilpres digelar, saya mendapat pertanyaan dari seorang teman.
"Di Pilpres nanti, kamu mau milih siapa? Memilih yang menang, atau memilih yang sesuai akal sehat?" demikian pertanyaan sahabat tersebut.
"Mengapa pilihannya hanya dua? Bagaimana kalau saya memilih yang sesuai akal sehat dan menang", jawab saya.
"Tidak bisa. Kamu hanya berhak memilih salah satu," jawabnya.
"Apapun yang terjadi, saya hanya mau memilih Pak..."
"Cukup. Aku sudah tahu jawabanmu. Aku sudah tahu pilihanmu. Itu yang aku maksud pilihan akal sehat. Tapi ketahuilah, itu tak akan menang. Dengan cara apapun, dia harus dikalahkan", ujar sahabat saya.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" tanya saya.
"Kamu boleh tidak percaya. Tapi itulah yang akan terjadi pada Pilpres 14 Februari nanti. Semua upaya --sangat sistematik---telah disiapkan untuk memenangkan Prabowo,"lanjutnya.
"Jadi kalau mau memilih yang menang, kamu sudah tahu harus memilih siapa", tambahnya.
Lalu terjadilah Pemilu 14 Februari 2024. Malam harinya, sebuah pesta kemenangan digelar Prabowo -- Gibran. Teman saya kembali menelpon, "Kamu ingat pertanyaanku beberapa bulan lalu? Kamu lihat sendiri kenyataannya hari ini".
Tak berapa lama, KPU secara resmi mengumumkan kemenangan pasangan Prabowo -- Gibran. Selanjutnya, pelantikan digelar secara resmi. Presiden -- Wakil Presiden RI resmi berganti.
Pagi berikutnya aku berangkat ke sekolah untuk mengajar. Di sepanjang jalan, banyak orang berjualan foto dalam pigura, Presiden dan Wakil Presiden baru untuk negeri tercinta.
Aku berhenti untuk membeli foto sepasang. Dengan niat, aku harus segera mengganti foto yang terpasang di dalam kelas tempatku mengajar.
Sesampai di kelas, rupanya aku sudah terlambat. Anak-anak sudah ramai memasang gambar-gambar di dinding. Amat sangat banyak.
Ada yang memasang foto Anies Baswedan. Ada yang memasang foto Ganjar Pranowo. Ada yang memasang foto Cak Imin. Ada yang memasang foto Mahfud MD. Ada yang memasang foto Jokowi. Ada yang memasang foto Megawati.
Di dinding sebelah, ada yang memasang foto Iwan Fals. Ada yang memasang foto Rocky Gerung. Ada yang memasang foto Connie Bakri. Ada yang memasang foto Habib Rizieq. Ada yang memasang foto Nikita Mirzani. Ada yang memasang foto Lee Min Ho. Ada yang memasang foto Ustadz Abdul Somad.
Ada pula yang memasang foto cicak. Ada yang memasang foto buaya. Ada yang memasang foto belimbing. Ada yang memasang foto durian. Ramai dinding kelasku penuh foto-foto terpasang.
Aku berkeliling kelas. Menyaksikan foto-foto dipasang siswa siswi dengan riang gembira. Mereka semua tertawa-tawa bahagia.
Mendadak aku tersentak. Tak ada foto Prabowo dan Gibran di dinding itu. Aku berteriak, "Hai kalian semua, apa kalian tidak tahu Presiden kita sudah berganti? Mengapa kalian tidak memasang foto Presiden dan Wakil Presiden terpilih?"
"Kami tahu bapak yang akan memasangnya. Silakan dipasang Pak..." jawab murid-muridku serentak.
Gubrak! Aku sangat kaget. Dari mana mereka tahu kalau aku telah membeli foto itu? Dari mana mereka tahu aku akan memasang foto itu di kelasku?
"Pak, Pak... Bangun..." tubuhku digoyang dengan kuat.
"Bangun Pak..." tubuhku kembali digoyang lebih kuat.
"Itu ada saksi TPS baru datang. Menyerahkan kartu C Hasil dari TPS..."
Seorang petugas tabulasi membangunkan aku di Posko. Aku tersentak. Segera bangun dan menerima kartu C Hasil yang dibawa para saksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H