Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Toxic Marriage, Merawat Kenangan Buruk dalam Pernikahan

26 Desember 2023   14:26 Diperbarui: 26 Desember 2023   14:33 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Emotional memories leave a big imprint on our brains" (Amy Morin, 2023)

Salah satu 'racun' dalam pernikahan adalah ketika pasangan suami istri cenderung "merawat kenangan buruk". Mengapa hal-hal buruk cenderung mudah dirawat dan diingat daripada kenangan manis yang menyenangkan?

Caroline Harting (2022) menyebutkan hasil penelitian, bahwa manusia cenderung lebih sering mengingat peristiwa/pengalaman negatif atau traumatis, daripada pengalaman positif.  Sudah sangat banyak ahli melakukan studi tentang fenomena ini, bahkan secara spesifik dikaitkan dengan kehidupan pernikahan.

Laura Carstensen, profesor psikologi di Universitas Stanford menyatakan, secara umum kita cenderung lebih fokus memperhatikan hal negatif daripada positif. Kondisi ini memiliki akar evolutif; menurut Carstensen, bahwa untuk kelangsungan hidup, lebih penting bagi manusia untuk memperhatikan singa di semak-semak daripada memperhatikan bunga indah yang tumbuh di seberang jalan (Allie Caren, 2018).

"Overemphasizing the negative over the positive is a cognitive distortion that, in terms of survival, works in our favor. But, not so much in terms of relationships", ujar Lindsay Weisner (2022).

Menurut Weisner (2022), terlalu fokus terhadap hal negatif dibandingkan hal positif adalah distorsi kognitif, yang dalam kaitan dengan kelangsungan hidup, akan menguntungkan kita. Tetapi hal itu tidak berlaku dalam konteks membina keharmonisan hubungan dengan pasangan.

Amy Morin (2023) menyatakan, ingatan emosional selalu meninggalkan bekas yang besar di otak kita. "Anda mungkin tidak dapat mengingat detail masa kecil, atau kalimat apa yang dikatakan dalam rapat staf dua tahun lalu. Namun, Anda akan kembali mengingatnya saat Anda ditolak, merasa takut, atau mengalami rasa malu yang luar biasa," ujar Morin.

"Your brain responds differently to experiences that are highly emotional. The amygdala heightens your sensory awareness when you're facing a highly emotional experience which may encode memories more effectively" (Amy Morin, 2023)

"Otak Anda," ujar Morin, "merespon secara berbeda terhadap pengalaman yang sangat emosional. Amigdala meningkatkan kesadaran sensorik Anda ketika menghadapi pengalaman yang sangat emosional yang dapat menyandikan ingatan dengan lebih efektif".

Inilah yang bisa menjelaskan, mengapa kenangan buruk dalam kehidupan pernikahan lebih mudah diingat dan dirawat. Padahal realitasnya, kebiasaan ini justru akan menyebarkan 'racun' yang membahayakan keutuhan keluarga.

Sebagian Besar Masalah Hubungan Tak Bisa Diselesaikan

Studi yang dilakukan oleh John Gottman dan tim menunjukkan, 69 % masalah dalam suatu hubungan tidak dapat diselesaikan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan perspektif mengenai cara menghadapi masalah, dan sifat kepribadian pasangan yang saling bertentangan (Lindsay Weisner, 2022).

Ketika kehidupan pernikahan dipenuhi dengan begitu banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan, memungkinkan lebih banyak fokus kepada hal negatif daripada positif. Terlebih ketika pertengkaran terus berlanjut karena masalah yang sama dan tidak dapat diubah.

Temuan penelitian Gottman tersebut memberikan gagasan bahwa pasangan harus belajar mengelola konflik --bukan menghindari atau berusaha mengingkarinya. Karena mayoritas konflik tidak bisa diselesaikan, maka harus ada kesadaran bersama untuk berdamai dengan realitas konflik, dan memiliki cara efektif untuk menghadapinya.

Lindsay Weisner mengingatkan, "And when both of you are constantly keeping score and tallying all the wrongs that have been inflicted upon you, in the end, you both lose". Ketika Anda berdua terus-menerus mencatat dan menghitung semua kesalahan yang dilakukan pasangan, pada akhirnya Anda berdua kalah --demikian Weisner mengingatkan.

Bahan Bacaan

Allie Caren, Why We Often Remember the Bad Better Than the Good, https://www.washingtonpost.com, 1 November 2018

Amy Morin, How Do I Deal With Bad Memories That Pop Into My Head? https://www.verywellmind.com, 16 November 2023

Caroline Harting, How Can We Break the Cycle of Focusing on Negative Experiences? https://news.columbia.edu, 9 Maret 2022

Lindsay Weisner, Do Bad Memories Cancel Out the Good Memories in a Marriage? https://www.psychologytoday.com, 12 September 2022

Marni Feuerman, Managing vs. Resolving Conflict in Relationships: The Blueprints for Success, https://www.gottman.com, diakses 26 Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun