"Pak Cah, mengapa suami si A tega mengkhianati cinta dalam pernikahan mereka? Padahal si A adalah sosok wanita salihah, baik, dan tak ada kekurangannya?" demikian pertanyaan seorang muslimah saat agenda Bincang Santai Dengan Pak Cah hari Ahad kemaren (10/12/2023) di lingkungan Sekolah Islam Al Furqon, Palembang.
Terus terang saya bingung dengan pertanyaan ini, dan meminta agar pertanyaan kembali diulang. "Siapakah si A yang Anda maksudkan?" tanya saya.
"AH, Pak Cah. Influencer ternama di negara tetangga," jawabnya.
"Hah? Siapa itu?" tanya saya.
Muslimah itu bercerita tentang seorang influencer dari negara tetangga yang --menurut penanya, sedang viral di media sosial. Saya menyimak dengan seksama kisah tersebut. Baru kali ini saya mendengar kisah tentang si A dan suaminya. Saya sama sekali tidak mengenalnya, sebagaimana si A pasti sama sekali tidak mengenal saya.
Saya tersenyum-senyum sendiri mendengar cerita yang katanya "viral" tersebut. Inilah hukum medsos. Viral itu terjadi karena kita mengakses. Jika kita tak pernah mengakses, tak akan menjadi viral di gadget kita. Bahkan tak pernah melintas di beranda.
Yang sedang viral di medsos saya saat ini adalah berita tentang genosida di Gaza. Begitu saya membuka Tiktok dan Instagram, langsung diberondong dengan postingan update kondisi Gaza dari berbagai akun. Saya langsung mengakses, memberi tanda like, kadang-kadang memberikomentar, dan kadang-kadang melakukan reposting.
Jadi di medsos saya gak pernah ada viral tentang kehidupan selebritis. Okelah, itu soal lain.
Tapi yang sedang ditanyakan adalah kejadian yang menimpa sebuah keluarga. Konon, sang suami menikah lagi saat istri hamil lima bulan. Muslimah yang bertanya di forum tersebut menanyakan, mengapa hal itu bisa terjadi.
"Bukankah AH istri yang salihah? Mengapa sang suami tega mengkhianati cintanya?" demikian pertanyaan dia.
Pertama, saya tidak mengenal dan juga tidak mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Tidak etis saya mengomentari atau menilai kehidupan orang lain --yang saya tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Maka saya tak akan mengomentari kasus tersebut.
Kedua, yang bisa saya komentari adalah kejadian poligami secara umum. Bahwa poligami merupakan bagian dari syariat Islam --dengan ketentuan yang sudah diatur dalam hukum fikih. Sepanjang ketentuan hukum sudah dipenuhi, maka pernikahan poligami tersebut sah secara agama. Sedangkan sah secara negara apabila diproses melalui Pengadilan Agama dan KUA.
Ketiga, pelaksanaan poligami yang baik, insyaallah akan menghasilkan kehidupan keluarga yang baik pula. Namun jika pelaksanaan tidak baik, bisa menimbulkan dampak tidak baik bagi keluarga. Untuk itu, jika tujuannya baik, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik.
Saya banyak belajar kepada Buya Hamka, seorang ulama kharismatik yang menulis Tafsir Al Azhar. Selama hidupnya, Buya Hamka tidak pernah menduakan istri tercinta, Siti Raham. Prof. Yunahar Ilyas (2006) menjelaskan, bahwa ada beberapa alasan mengapa Buya Hamka tidak berpoligami.
Salah satu alasan adalah karena adanya trauma masa lalu. Ayah kandung Buya Hamka, Haji Rasul, mempunyai empat orang istri. Salah satu istri Haji Rasul adalah Shafiyah, ibu kandung Buya Hamka. Disebabkan Haji Rasul hendak menikah lagi, maka ia harus menceraikan satu di antara empat istri tersebut terlebih dahulu. Hal ini karena Islam tidak membolehkan menikah lebih dari empat istri.
Tidak diketahui apa pertimbangannya, ternyata Haji Rasul memilih menceraikan Shafiyah. Akhirnya dicerailah ibu kandung Buya Hamka, padahal tidak ada persoalan yang berarti antara ibu dan ayahnya. Perceraian orang tuanya itulah yang membuat Buya Hamka merasa terluka.
"Luka hati ini menjadi trauma bagi Hamka, sehingga dalam kehidupan perkawinannya Hamka setia menjadi seorang monogam," ungkap Prof. Yunahar Ilyas. Buya Hamka baru menikah lagi setelah Siti Raham wafat. Ia tetap menjadi seorang monogam sampai akhir hayat.
"Ibuku menderita akibat ayahku memiliki istri yang banyak. Nasib kami, anak-anaknya juga terkadang tidak terurus karena Ayah hanya menghabiskan hari-harinya dengan tepak dan menggilir istri-istrinya," tulis Hamka di buku Kenangan-Kenangan Hidup (1951).
Buya Hamka mengenang nasehat kakak ipar sekaligus gurunya, Sutan Mansur. Rupanya Sutan Mansur merasa menyesal telah berpoligami. "Cobalah lihat nasibku. Karena telanjur beristri lebih dari satu, sebagian besar hidupku hanya untuk itu. Sebab itu, banyak cita-citaku patah di tengah jalan," demikian ungkap Sutan Mansur.
Kondisi ini juga ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan surat An Nisa ayat ke 3. Sutan Mansur memberi pesan panjang lebar. "Cukuplah isterimu satu itu saja wahai Abdul Malik! Aku telah beristeri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi," ujar Sutan Mansur.
"Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua, karena kesalahan mereka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Tetapi aku siang-malam menderita bathin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati".
"Bagi orang lain hal ini mudah saja. Kalau tidak senang kepada salah satu, cari saja sebab kecil, lalu lepaskan, maka terlepaslah diri dari beban berat. Kalau terjadi demikian, kita telah meremuk-redamkan hati seorang ibu yang ditelantarkan".
"Janganlah beristeri lebih dari satu hanya dijadikan semacam percobaan, sebab kita berhadapan dengan seorang manusia, jenis perempuan. Hal ini menjadi sulit bagiku, karena aku adalah aku, karena aku adalah gurumu dan guru orang banyak".
"Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdul Malik. Aku ingin engkau bahagia! Aku ingin engkau jangan membuat kesulitan bagi dirimu. Peganglah ayat Tuhan : Yang demikian itu lebih dekat supaya kamu tidak berlaku aniaya" (Al Quran, surat An-Nisa' ayat 3).
Pesan-pesan sang guru tersebut menghujam sangat tajam pada jiwa Buya Hamka. Ia memilih menjalani kehidupan dengan satu istri. Setahun setelah Siti Raham berpulang, Buya Hamka menikah dengan Siti Khadijah, hingga akhir hayatnya.
Kisah Buya Hamka adalah tentang menjaga kebaikan keluarga. Bagaimana Buya Hamka mendengar nasehat Sutan Mansur yang merasakan kegalauan setelah menikah lebih dari satu istri. Inilah yang harus menjadi pertimbangan siapapun yang hendak melakukan poligami.
Maka definisi mengkhianati cinta menjadi lebih mudah dipahami dengan belajar dari kisah kehidupan orang-orang di sekitar Buya Hamka di atas. Jika proses poligami dilakukan dengan cara terbaik, tentu tak ada yang dikhianati.
Bahan Bacaan
Haidar Musyafa, Memahami Hamka, The Untold Stories, Imania, 2019
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Quran Studi Pemikiran Para Musafir, Labda Press, Yogyakarta, 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H