Pertama, saya tidak mengenal dan juga tidak mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Tidak etis saya mengomentari atau menilai kehidupan orang lain --yang saya tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Maka saya tak akan mengomentari kasus tersebut.
Kedua, yang bisa saya komentari adalah kejadian poligami secara umum. Bahwa poligami merupakan bagian dari syariat Islam --dengan ketentuan yang sudah diatur dalam hukum fikih. Sepanjang ketentuan hukum sudah dipenuhi, maka pernikahan poligami tersebut sah secara agama. Sedangkan sah secara negara apabila diproses melalui Pengadilan Agama dan KUA.
Ketiga, pelaksanaan poligami yang baik, insyaallah akan menghasilkan kehidupan keluarga yang baik pula. Namun jika pelaksanaan tidak baik, bisa menimbulkan dampak tidak baik bagi keluarga. Untuk itu, jika tujuannya baik, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik.
Saya banyak belajar kepada Buya Hamka, seorang ulama kharismatik yang menulis Tafsir Al Azhar. Selama hidupnya, Buya Hamka tidak pernah menduakan istri tercinta, Siti Raham. Prof. Yunahar Ilyas (2006) menjelaskan, bahwa ada beberapa alasan mengapa Buya Hamka tidak berpoligami.
Salah satu alasan adalah karena adanya trauma masa lalu. Ayah kandung Buya Hamka, Haji Rasul, mempunyai empat orang istri. Salah satu istri Haji Rasul adalah Shafiyah, ibu kandung Buya Hamka. Disebabkan Haji Rasul hendak menikah lagi, maka ia harus menceraikan satu di antara empat istri tersebut terlebih dahulu. Hal ini karena Islam tidak membolehkan menikah lebih dari empat istri.
Tidak diketahui apa pertimbangannya, ternyata Haji Rasul memilih menceraikan Shafiyah. Akhirnya dicerailah ibu kandung Buya Hamka, padahal tidak ada persoalan yang berarti antara ibu dan ayahnya. Perceraian orang tuanya itulah yang membuat Buya Hamka merasa terluka.
"Luka hati ini menjadi trauma bagi Hamka, sehingga dalam kehidupan perkawinannya Hamka setia menjadi seorang monogam," ungkap Prof. Yunahar Ilyas. Buya Hamka baru menikah lagi setelah Siti Raham wafat. Ia tetap menjadi seorang monogam sampai akhir hayat.
"Ibuku menderita akibat ayahku memiliki istri yang banyak. Nasib kami, anak-anaknya juga terkadang tidak terurus karena Ayah hanya menghabiskan hari-harinya dengan tepak dan menggilir istri-istrinya," tulis Hamka di buku Kenangan-Kenangan Hidup (1951).
Buya Hamka mengenang nasehat kakak ipar sekaligus gurunya, Sutan Mansur. Rupanya Sutan Mansur merasa menyesal telah berpoligami. "Cobalah lihat nasibku. Karena telanjur beristri lebih dari satu, sebagian besar hidupku hanya untuk itu. Sebab itu, banyak cita-citaku patah di tengah jalan," demikian ungkap Sutan Mansur.
Kondisi ini juga ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan surat An Nisa ayat ke 3. Sutan Mansur memberi pesan panjang lebar. "Cukuplah isterimu satu itu saja wahai Abdul Malik! Aku telah beristeri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi," ujar Sutan Mansur.
"Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua, karena kesalahan mereka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Tetapi aku siang-malam menderita bathin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati".