Di berbagai ruang konseling, banyak dijumpai konflik suami istri yang bermula dari sikap kekanak-kanakan atau ketidakdewasaan salah satu pihak atau keduanya. Mereka sudah menikah dan memiliki anak namun kurang memiliki kedewasaan.
Benarkah ada orang dewasa yang terjebak dalam cangkang ketidakdewasaan? Ternyata memang ada. Robert Firestone, seorang psikolog dan penulis buku Combating Destructive Thought Processes dan belasan buku psikologi populer lainnya, menyorot dengan tajam realitas ini.
Dalam tulisannya "Six Aspects of Being an Adult" (2013), Robert Firestone menengarai ada banyak orang tidak menyadari bahwa mereka menjalani hidup berdasarkan kerangka acuan anak-anak dibandingkan dengan kerangka orang dewasa. Meskipun lelaki dan perempuan sudah matang secara fisik dan menjadi lebih mampu dalam kehidupan sehari-hari, namun jarang mencapai kematangan emosi.
"The primary barriers to maturity are unresolved childhood trauma, the defenses the child forms to ward off emotional pain and existential dread," ungkap Firestone. Menurutnya, hambatan utama menuju kedewasaan adalah trauma masa kanak-kanak yang belum terselesaikan, yaitu pertahanan yang dibentuk anak untuk menangkal rasa sakit emosional dan ketakutan eksistensial.
Terkait ketakutan eksistensial (existential dread), kondisi ini mengacu pada kegelisahan inti yang berhubungan dengan pertumbuhan, menghadapi kenyataan bahwa waktu terus berlalu, dan memberi nilai pada kehidupan meskipun kematian tidak bisa dihindari.
Selanjutnya, Firestone menyampaikan enam aspek utama pendekatan orang dewasa terhadap kehidupan. Keenamnya menjadi ciri kehidupan orang dewasa.
- Mengedepankan Rasionalitas
Orang dewasa merasakan emosinya, tetapi ketika bertindak, mereka membuat keputusan rasional berdasarkan pertimbangan yang matang. Psikiater Murray Bowen menyatakan, orang dewasa "mampu membedakan antara proses perasaan dan proses intelektual, dan (memiliki) kemampuan untuk memilih antara dipandu oleh perasaan atau pikiran."
Ini bukan soal perbedaan laki-laki dan perempuan. Namun perbedaan antara orang dewasa dengan anak-anak. Pada dunia anak-anak, belum berkembang kemampuan rasionalitasnya. Mereka lebih dominan memenuhi keinginan emosional sesaat.
"Kurang pertimbangan rasional" inilah yang akhirnya memudahkan pasangan suami istri memilih untuk bercerai. Keputusan yang banyak dipandu oleh sisi emosional sesaat, bukan oleh kedewasaan rasional. Keputusan yang kelak di kemudian hari mudah mereka sesali.
- Mampu Merumuskan dan Melaksanakan Tujuan
Orang dewasa mampu merumuskan tujuan dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan. Mereka menetapkan prioritas dalam kehidupan, karena bisa membedakan mana hal tidak penting, penting, lebih penting bahkan paling penting.
Dalam membangun kehidupan berumah tangga, orang-orang dewasa mampu merumuskan tujuan dengan jelas. Mereka juga mampu menjalankan peran yang sesuai dengan konteks pencapaian tujuan.
Suami istri yang terjebak dalam kerangka acuan anak-anak sering kali bereaksi berlebihan secara emosional terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak penting dalam kehidupan. Kekecewaan dan ketersinggungan pribadi menjadi isu besar yang bisa merusak keharmonisan rumah tangga.
Akhirnya mereka melupakan tujuan besar pernikahan, dan berkubang dalam permusuhan emosional dengan pasangan. Saling menuduh dan saling menyalahkan, tanpa mau kembali kepada tujuan.
- Menjalin Kesetaraan dalam Hubungan
Orang-orang dewasa mampu mengupayakan keseimbangan dalam hubungan dengan pasangan. Suami dan istri tidak saling mendominasi. Mereka menjalani relasi secara seimbang dan setara dalam bingkai norma.
Firestone menyatakan, "Orang-orang yang tindakannya didasarkan pada cara orang dewasa, akan berhubungan satu sama lain sebagai individu mandiri yang saling memberi dan menerima dalam pemuasan/pemenuhan kebutuhan timbal balik." Suami istri mampu mengembangkan kapasitas mereka untuk memberi dan menerima cinta bersama pasangan.
Sifat anak-anak akan cenderung selalu meminta. Jika pasangan suami istri terjebak dalam sifat kekanakan, mereka akan saling meminta, dan tidak bersedia saling memberi. Padahal dalam membangun rumah tangga, yang diperlukan bukan hanya pemberian, namun dituntut pula pengorbanan.
- Mampu Bersikap Proaktif dan Asertif
Orang dewasa bersifat proaktif dan asertif, bukan pasif dan hanya bergantung kepada pasangan atau pihak lain. Suami dan istri tidak merasa menjadi korban kehidupan atau mengeluh, atau mudah melimpahkan masalah kepada orang lain. Mereka mampu menghadapi masalah dengan tepat dan mampu mencari serta menemukan solusi.
Ketika pasangan suami istri bersikap pasif, menunggu inisiatif pasangan, maka keluarga menjadi jumud dan membosankan. Saat menghadapi suasana atau masalah yang menekan, kedua belah pihak tak melakukan tindakan apapun, karena menunggu inisiatif pasangan. Sambil menyalahkan pasangan, "Dia tidak punya inisiatif". Inilah contoh tindakan tidak dewasa.
Orang dewasa akan bertindak proaktif, bukan menunggu reaksi pasangan. Suami dan istri bersedia memberikan hal terbaik untuk pasangan demi keharmonisan pernikahan mereka.
- Non-defensif dan Mengembangkan Keterbukaan
Orang yang matang secara emosional tidak memiliki reaksi defensif atau marah terhadap masukan dan nasehat. Mereka tidak begitu saja menolak pandangan negatif. Orang dewasa bersedia menerima nasehat dan membangun perubahan.
Anak-anak cenderung defensif, dan tidak mau menerima nasehat. Jika pasangan suami istri mengembangkan sikap ketidakdewasaan, mereka akan selalu merasa benar, dan tidak mau mendengar serta menerima masukan pasangan.
Menurut Firestone, "Orang dewasa mencari pengetahuan diri untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan konsep diri yang akurat. Mereka menyadari aspek positif dan negatif dari kepribadian mereka dan memiliki perspektif realistis tentang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan orang lain".
- Memiliki Kekuatan Pribadi
Firestone menyatakan, "orang dewasa mengambil kekuasaan penuh atas setiap bagian dari keberadaan sadar mereka". Orang dewasa bisa memilih, emosi apa yang diizinkan membanjiri dirinya. Mereka punya kendali untuk menciptakan hubungan yang sehat dengan pasangan.
Dalam mode anak-anak, mereka tidak berkuasa untuk mengendalikan diri. Dampaknya, sikap suami/istri lebih banyak ditentukan oleh respon pasangan. "Aku akan berlaku baik kepadamu, apabila kamu berlaku baik kepada aku". Kebaikan yang diberikan selalu bersyarat, layaknya kehidupan anak-anak yang belum memiliki kekuatan pribadi.
Sikap kekanakan seperti ini menjadi racun dalam pernikahan. Mereka belum dewasa secara kejiwaan, sehingga mudah mengeluh dan cepat merasa tersakiti atas apa yang tidak mereka dapatkan dari pasangan.
Demikianlah 6 sifat kedewasaan yang seharusnya dijaga dan ditumbuhkan dalam kehidupan pernikahan. Dengan memiliki sifat kedewasaan, suami dan istri akan mampu berkolaborasi dan bersinergi menumbuhkembangkan cinta di sepanjang kehidupan pernikahan.
Bahan Bacaan
Dr. Robert Firestone, Six Aspects of Being an Adult, https://www.psychologytoday.com, 24 Juni 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H