Kita sering mendengar ungkapan "hidup adalah pilihan". Dalam sangat banyak hal, pernyataan tersebut benar, dan terjadi dalam kehidupan keseharian. Termasuk dalam kehidupan berumah tangga.
Setiap hari, suami dan istri harus memilih dan memutuskan segala sesuatu. Hal-hal teknis dan praktis dalam kehidupan rumah tangga, harus ada keputusannya.
Misalnya, siapa yang memasak hari ini, siapa yang membersihkan dapur, siapa yang mengurus anak, siapa yang mengantar anak ke sekolah, siapa yang menyiapkan makan malam, siapa yang menemani anak belajar, dan seterusnya. Ini semua adalah pilihan, dan harus ada keputusan.
Untuk hal-hal yang rutin seperti ini, bisa dibuat pola dengan kesepakatan. Suami dan istri bisa membuat kesepakatan untuk berbagi peran dalam penunaian hal-hal praktis kerumahtanggaan. Tak perlu ada pertengkaran dan keributan dalam urusan praktis seperti ini. Pandai-pandai dan bijak-bijaklah berbagi peran.
Namun ada kalanya suami dan istri harus memutuskan sesuatu yang tidak rutin, atau bukan peristiwa harian. Misalnya memutuskan pola pendidikan anak. Apakah anak akan belajar di  rumah dengan pola home schooling, atau belajar di pesantren, boarding school, fullday school atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Jika memilih belajar dengan asrama, di pondok pesantren atau sekolah boarding yang manakah? Jika memilih fullday school, di mana sekolah yang dinilai paling tepat untuk ananda? Ini semua memerlukan pertimbangan yang serius, karena menyangkut masa depan anak.
Ada banyak panduan serta cara untuk memilih dan memutuskan. Salah satunya adalah dengan kaidah maslahat dan mafsadat. Orangtua bisa menimbang maslahat (kebaikan) yang muncul dari opsi yang mereka pilih, juga menimbang mafsadat (keburukan)nya.
Antara pilihan satu dengan pilihan lainnya, lebih besar yang manakah maslahatnya, lebih besar mana pula mafsadatnya? Bisa jadi dalam setiap pilihan pola pendidikan anak, ada maslahat dan ada mafsadat. Maka prinsipnya adalah memilih maslahat yang lebih besar, dan mafsadat paling kecil.
Demikian pula dalam kasus konflik rumah tangga. Ketika suami dan istri berpikir untuk mengakhiri pernikahan dengan perceraian, hendaknya menimbang maslahat dan mafsadat.
Apa maslahat jika meneruskan hidup berumah tangga dengannya, apa pula mafsadatnya? Apa maslahat jika bercerai dengannya, apa pula mafsadatnya? Pertimbangkan secara bijak dan dewasa. Jangan terbanjiri emosi saat mengambil keputusan.
Bisa jadi dalam pilihan melanjutkan pernikahan atau bercerai, ada maslahat dan ada mafsadat. Maka prinsipnya adalah memilih maslahat yang lebih besar, dan mafsadat paling kecil.
Jika sudah tidak mampu lagi untuk menimbang secara bijak karena terbawa emosi, libatkan pihak ketiga yang terpercaya. Misalnya psikolog, konselor, atau ulama. Fungsinya adalah untuk memediasi dan membantu menemukan keputusan terbaik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,
"Orang cerdas bukan (sekedar) mengetahui mana baik dan mana buruk. Akan tetapi, orang cerdas adalah orang yang mengetahui mana yang terbaik dari dua kebaikan, dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan".
Jadilah orang yang cerdas. Saat harus memilih dan mengambil keputusan, jangan gegabah. Lakukan dengan hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Menimbang segala aspek, agar menghasilkan keputusan dengan maslahat terbesar dan mafsadat terkecil.
Sumber https://rumaysho.com/7195-cerdas-dalam-memilih-maslahat-dan-mudarat.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H