Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Menolak "Ajakan" Suami dengan Cara Halus, Bolehkah?

15 Juni 2023   17:14 Diperbarui: 15 Juni 2023   17:18 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan

Bagaimana cara agar istri tidak terkesan "menolak" ketika "diajak" suami padahal memang kondisinya istri lelah, capek, dan tidak optimal? Padahal istri ingin memberikan yg terbaik dan mindful ketika berhubungan dengan suami (Fulanah - Biman Foundation, Jakarta).

Jawaban

Pertama, hendaknya dipahami bahwa pada dasarnya salah satu kewajiban istri adalah memenuhi kebutuhan biologis suami. Justru karena kewajiban hubungan biologis inilah maka harus ada akad nikah. Tanpa akad nikah, pemenuhan kebutuhan biologis adalah haram.

Setelah akad nikah terucap, maka suami dan istri saling menikmati kesenangan yang dihalalkan. Sepanjang tidak ada uzur syar'i, memenuhi ajakan suami dalam urusan biologis adalah kewajiban. Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda,

"Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjang, lalu istri enggan memenuhinya, malaikat akan melaknatnya hingga waktu Subuh" (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

Demikian pula sabda Nabi saw,

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istri ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suami, melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya" (HR. Muslim no. 1436).

Sesungguhnya penetapan hukum pengharaman istri yang menolak ajakan suami adalah sebuah tatanan yang membantu terwujudnya makna dari hubungan suami istri. Dengan harapan agar seorang suami lebih dapat menundukkan pandangan, juga menjaga kemaluan / kehormatan (Dr. Fadhl Ilahi, 2005).

Berdasarkan kedudukan hadis dalam bingkai Islam rahmatan lil 'alamin, maka yang dilaknat oleh malaikat karena tidak bersedia memenuhi hasrat seksual pasangan suami-istri bukan hanya istri saja. Suami yang tidak mau memenuhi hasrat seksual istri sehingga sang istri tidak terjaga kehormatan dirinya dan keluarga sakinah gagal terbentuk, maka sang suami juga dilaknat para malaikat (Hamim Ilyas, 2022).

Karena kesenangan seksual Allah berikan kepada laki-laki dan perempuan, maka seorang suami juga harus memenuhi hasrat sang istri. Imam An-Nawawi berkata,

"Sebagaimana hak suami atas istri, begitu pula suami, apabila ia melihat istrinya menginginkan istimta' (bersenang-senang/berjima') maka ia harus memenuhinya."

Kedua, istri boleh tidak memenuhi ajakan suami jika terdapat uzur yang dibenarkan syari'at. Ketika mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, "Ini adalah dalil haramnya istri enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya" (Syarah Shahih Muslim).

Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi (2005) berpandangan, jika istri ada halangan, seperti sakit atau kelelahan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini. Penetapan hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima') disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar'i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi. Oleh karena itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya (Dr. Fadhl Ilahi, 2005).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib. Jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya" (Dr. Fadhl Ilahi, 2005).

Ketiga, istri boleh menolak tidur seranjang dengan suami, jika terdapat alasan yang dibenarkan syari'at. Dalam Fatawa Asy-Syabakah nomer 108.291 disebutkan, "Selayaknya suami mawas diri. Boleh  jadi penolakan istri untuk tidur bersama dikarenakan suami tidak memberikan hak-hak istri, atau suami tidak menjaga kebersihan dan lain sebagainya yang menyebabkan istri merasa tidak nyaman dan menjauh dari suami".

"Istri itu manusia yang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh manusia lainnya. Sekiranya dengkuran suami mengganggu yang tidak dapat ditahan dan tidak memungkinkan tidur bersamanya, maka kami memandang istri punya hak untuk menolak tidur seranjang bersamanya -- bukan menolak hubungan badan".

"Selayaknya suami memberikan kelonggaran dalam hal ini dan memahami ketidaknyamanan yang dirasakan istri, --dan hal itu tidak termasuk nusyuz. Merujuk apa yang disebutkan oleh para ulama tentang istri yang menolak tidur bersama suami, dikarenakan suami yang berantakan (tidak rapi) atau kotor, apakah itu nusyuz? Mereka mengatakan tidak nusyuz sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami dari kalangan As-Syafi'i" (Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah no. 108.291).

Keempat, secara teknis hendaklah dibuat kesepakatan dengan suami, bahwa ada kondisi-kondisi dimana istri sedang tidak nyaman, kelelahan, sakit, yang membuatnya tidak bisa optimal melayani suami. Selayaknya menunggu momentum yang paling optimal, dimana sang istri merasa bahagia, sehat, segar, bugar dan bertenaga.

Peran suami sangat besar dalam mengondisikan istri untuk berada dalam suasana fresh sehingga siap melayani suami sewaktu-waktu. Sejak dari manajemen pengelolaan kegiatan kerumahtanggaan, kolaborasi positif dalam pengasuhan anak, sampai pada penyediaan sarana serta fasilitas yang menunjang untuk terjaganya kesehatan, kebugaran,serta kebahagiaan istri.

Bahan Bacaan

Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Orang-Orang Yang Dilaknat Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, 2005

Dr. Hamim Ilyas, Reinterpretasi Hadis Laknat Malaikat Terhadap Istri, https://suaraaisyiyah.id, 14 Mei 2022

Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah no. 108.291

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun