Karena kesenangan seksual Allah berikan kepada laki-laki dan perempuan, maka seorang suami juga harus memenuhi hasrat sang istri. Imam An-Nawawi berkata,
"Sebagaimana hak suami atas istri, begitu pula suami, apabila ia melihat istrinya menginginkan istimta' (bersenang-senang/berjima') maka ia harus memenuhinya."
Kedua, istri boleh tidak memenuhi ajakan suami jika terdapat uzur yang dibenarkan syari'at. Ketika mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, "Ini adalah dalil haramnya istri enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya" (Syarah Shahih Muslim).
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi (2005) berpandangan, jika istri ada halangan, seperti sakit atau kelelahan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini. Penetapan hukum haram bagi istri yang menolak keinginan suami ke atas ranjang (untuk berjima') disyaratkan dengan tidak ada alasan secara syar'i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi. Oleh karena itu seorang suami harus selalu memperhatikan keadaan sang istri ketika ia memintanya (Dr. Fadhl Ilahi, 2005).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Seorang suami berhak untuk bersenang-senang dengan sang istri kapan saja, selama hal itu tidak memberikan dampak negatif kepadanya atau menyibukkannya dari sesuatu yang lebih wajib. Jika semua itu tidak ada, maka seorang istri harus memenuhinya" (Dr. Fadhl Ilahi, 2005).
Ketiga, istri boleh menolak tidur seranjang dengan suami, jika terdapat alasan yang dibenarkan syari'at. Dalam Fatawa Asy-Syabakah nomer 108.291 disebutkan, "Selayaknya suami mawas diri. Boleh  jadi penolakan istri untuk tidur bersama dikarenakan suami tidak memberikan hak-hak istri, atau suami tidak menjaga kebersihan dan lain sebagainya yang menyebabkan istri merasa tidak nyaman dan menjauh dari suami".
"Istri itu manusia yang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh manusia lainnya. Sekiranya dengkuran suami mengganggu yang tidak dapat ditahan dan tidak memungkinkan tidur bersamanya, maka kami memandang istri punya hak untuk menolak tidur seranjang bersamanya -- bukan menolak hubungan badan".
"Selayaknya suami memberikan kelonggaran dalam hal ini dan memahami ketidaknyamanan yang dirasakan istri, --dan hal itu tidak termasuk nusyuz. Merujuk apa yang disebutkan oleh para ulama tentang istri yang menolak tidur bersama suami, dikarenakan suami yang berantakan (tidak rapi) atau kotor, apakah itu nusyuz? Mereka mengatakan tidak nusyuz sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitsami dari kalangan As-Syafi'i" (Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah no. 108.291).
Keempat, secara teknis hendaklah dibuat kesepakatan dengan suami, bahwa ada kondisi-kondisi dimana istri sedang tidak nyaman, kelelahan, sakit, yang membuatnya tidak bisa optimal melayani suami. Selayaknya menunggu momentum yang paling optimal, dimana sang istri merasa bahagia, sehat, segar, bugar dan bertenaga.
Peran suami sangat besar dalam mengondisikan istri untuk berada dalam suasana fresh sehingga siap melayani suami sewaktu-waktu. Sejak dari manajemen pengelolaan kegiatan kerumahtanggaan, kolaborasi positif dalam pengasuhan anak, sampai pada penyediaan sarana serta fasilitas yang menunjang untuk terjaganya kesehatan, kebugaran,serta kebahagiaan istri.
Bahan Bacaan