Demikian pula yang pernah terjadi pada banyak ulama di masa-masa terdahulu. Pada pemerintahan Khalifah Al-Mu'tashim, Imam Ahmad dijebloskan ke dalam penjara. Khalifah mencambuk Imam Ahmad dengan cemeti sampai pingsan. Bahkan darah mengalir di sekujur tubuh Imam Ahmad.
Apakah Imam Ahmad dendam dengan peristiwa ini? "Aku jadikan kehormatanku halal untuk Abu Ishaq --yakni Mu'tashim, dan aku telah maafkan dirinya", ujar Imam Ahmad.
Imam Ahmad mengatakan, "Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku mendengar firman Allah Ta'ala,
"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?" (QS. An-Nur: 22).
Imam Ahmad memilih sejuknya memaafkan, dibanding panasnya dendam.
Dalam episode kehidupannya, Imam Malik pernah dituduh melawan perintah Abu Ja`far Al-Manshur. Imam Malik membawakan hadits bahwa tidak jatuh talak bagi orang yang dipaksa. Ini bertentangan dengan pendapat Al-Manshur.
Imam Malik dimasukkan ke dalam penjara dan disiksa hingga tangannya patah. Namun beliau tidak mnyimpan dendam, bahkan memaafkan orang-orang yang menyiksa dan menyakitinya.
Imam Malik memilih sejuknya memaafkan, dibanding panasnya dendam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah divonis kafir dan difatwakan halal darahnya. Beliau dimasukkan penjara dan disiksa.
Salah satu musuh beliau adalah Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah masih hidup. Ibnul Qayyim Al Jauziyah --salah satu murid Ibnu Taimiyah, mengetahui kematian Ibnu Makhluf, bersegera menemui sang guru untuk menyampaikan 'kabar gembira' ini.
Syaikhul Islam menghardik Ibnul Qayyim karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh beliau. Justru beliau mengucapkan kalimat istirja', "inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'un".