Syaikh Jasim Muhammad Al-Muthawwi menulis makalah berjudul 'Isyruna Khatha-an Tarbawiyan Nartakibuha Ma'a Abna-ina. Isinya tentang duapuluh poin kesalahan yang umum dilakukan orangtua dalam mendidik anak-anak mereka.
Dalam tulisan kali ini, saya akan menyampaikan beberapa poin saja. Biar secara psikologis kita tidak terlalu terbebani dengan banyaknya kesalahan kita selama ini. Khawatirnya justru menjadi melemahkan semangat berbenah diri.
Kesalahan Kelima: Al-Mubalaghah fi At-Tadakhul
Menurut Syaikh Jasim Muhammad Al-Muthawwi, kesalahan yang banyak dilakukan orangtua tanpa mereka sadari adalah al-mubalaghah fi at-tadakhul atau berlebihan dalam mengintervensi setiap urusan anak. Masih banyak orang tua yang mencampuri atau mengintervensi setiap urusan anak, sehingga anak merasa tidak nyaman.
Dalam dunia parenting, tindakan intervensi berlebihan seperti ini disebut sebagai "helicopter parenting". Istilah helicopter parenting pertama kali hadir pada 1969 dalam buku karya Haim G. Ginott berjudul "Between Parent & Teenager". Pada buku tersebut, remaja mengibaratkan ibunya memantau seperti helikopter.
Helicopter parenting adalah pola asuh orangtua yang sangat mengontrol dan mengintervensi terlalu dalam terhadap kehidupan anak. Saking terlalu jauh ikut campur, orangtua seolah seperti helikopter yang terus berputar di atas untuk memantau setiap gerak gerik anaknya.
"Orangtua terlalu fokus pada anak-anak mereka," kata Carolyn Daitch, Ph.D., direktur Center for the Treatment of Anxiety Disorders. "Orangtua merasa terlalu bertanggung jawab atas kondisi anak-anak mereka dan, khususnya terkait dengan keberhasilan atau kegagalan mereka," lanjut Daitch.
"It means being involved in a child's life in a way that is overcontrolling, overprotecting, and over perfecting, in a way that is in excess of responsible parenting" --Ann Dunnewold, Ph.D.
Ann Dunnewold, Ph.D., seorang psikolog, berpendapat bahwa parenting helikopter adalah pola pengasuhan yang berlebihan. "Itu berarti orangtua terlibat dalam kehidupan anak dengan terlalu mengontrol, terlalu melindungi, dan terlalu menyempurnakan, dengan cara yang melebihi tanggung jawab pengasuhan," ungkapnya.
Sebenarnya orangtua memiliki niat dan tujuan yang baik, yakni ingin memberikan yang terbaik untuk anak dan tidak ingin anak mengalami kegagalan. Orangtua sering tidak saadar bahwa kegagalan adalah pengalaman yang akana mendewasakan anak.
Beberapa contoh dari pola asuh helikopter yang dilakukan orangtua tanpa sadar adalah sebagai berikut.
- Menentukan sekolah dan jurusan pendidikan anak, walau ia tidak menyukainya dan tidak berminat
- Saat prestasi anak jelek, orangtua menghubungi guru untuk protes. Orangtua menuduh guru tidak becus mengajar anak.
- Orangtua ikut campur terlalu teknis ketika ada permasalahan anak dengan teman atau lingkungan pergaulan.
- Menentukan warna dan corak pakaian, penampilan, permainan, pergaulan, tanpa dialog dan tanpa mempedulikan aspirasi dan keinginan anak.
- Menentukan pekerjaan, calon pasangan hidup, dan tempat tinggal anak, tanpa dialog dan tanpa mempedulikan aspirasi dan keinginan anak.
Anak-anak yang mendapatkan pola asuh helicopter parenting dari orangtua, berpeluang memiliki beberapa dampak negatif. Di antaranya adalah, anak rentan mengalami depresi.
Penelitian yang diterbitkan Journal of Child and Family Studies melaporkan kondisi hasil pola asuh helicopter parenting di Korea. Para peneliti melibatkan 562 orang dewasa baru (19-34 tahun) sebagai responden dengan beragam latar belakang, seperti pelajar, penganggur, dan belum menikah.
Dalam penelitian tersebut, responden setidaknya masih memiliki satu orangtua yang masih hidup. Hasilnya, anak dengan pola asuh helikopter berhubungan langsung dengan kemungkinan besar mengalami gejala depresi.
Anak merasakan tekanan yang lebih tinggi terhadap harapan orangtua pada karir mereka. Ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan rentan mengalami depresi.
Dampak lainnya, anak tumbuh dewasa tanpa memiliki coping skill. Orangtua yang menerapkan pola helicopter parenting, terlalu banyak membantu anak sehingga mereka tidak pernah gagal. Perilaku seperti ini dapat menghambat perkembangan coping skill pada diri anak.
Anak tidak terbiasa mengatasi masalah atau menghadapi kegagalan. Mereka tidak pernah belajar bagaimana menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Semua sudah diselesaikan orangtua.
Hendaknya, orang tua memberikan ruang bagi anak untuk menentukan pilihannya. Orangtua mengajak anak terbuka dan berdiaskusi tentang berbagai pilihan yang hendak diambil anak, dan melatih anak mengambil keputusan secara bertanggung jawab.
Orangtua wajib memberikan rambu dan arahan agar pilihan-pilihan anak dalam kehidupannya tidak keluar dari koridor syar'i dan tidak melampaui batas kepatutan. Di sinilah pentingnya pendidikan dalam kehidupan keluarga.
Bahan Bacaan
Jasim Muhammad Al-Muthawwi, 'Isyruna Khatha-an Tarbawiyan Nartakibuha Ma'a Abna-ina, diakses dari https://midad.com/article/221672, 26 Februari 2016
Kate Bayless, What Is Helicopter Parenting? https://www.parents.com, 12 Oktober 2022
Mike Brooks, Ph.D, No, Don't Be a Helicopter Parent. But Be Involved, https://www.psychologytoday.com, 13 Februari 2019
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Koreksi Kesalahan Mendidik Anak, Nabawi Publishing, 2011
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting, Cara Nabi Mendidik Anak, Pro-U Media, 2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI